Jumat, 18 Januari 2008

Reform Agraria

Reform Agraria

REKLAIM TANAH HUTAN:
Tipe-tipe Reforma Agraria dari Bawah di Dataran Tinggi
Sulawesi Tengah

Oleh: MT Felix Sitorus

Abstract
The present paper describes forms of forest land reclaiming by three village communities around the Lore Lindu National Park. The reclaiming process by the three village communities are typified by the author as ‘agrarian reform by leverage’, in other words an agrarian reform process from below based on local initiative. Despite these common characteristics, each village demonstrates a distinctive type of agrarian reform from below, which the author typified as the ‘annexation’ type, the ‘cultivation’ type and the ‘integration’ type.

1. Pendahuluan
Tulisan ini mengkaji gerakan rakyat berupa reklaim tanah yang meluas di pedesaan Indonesia sejak 1998, menyusul kejatuhan rejim Soeharto. Berbeda dari pemerintah yang melihat gerakan itu sebagai pendudukan illegal, saya menggunakan konsep reforma agraria dari bawah (agrarian reform by leverage) sebagai alat analisa untuk membingkai dan menerangkan gerakan tersebut. Dengan reforma agraria dari bawah dimaksudkan adalah reforma agraria aras lokal yang diinisiasi dan dilaksanakan oleh komunitas lokal.
Sebelum masuk pada analisis, saya perlu menjelaskan kerangka analisis terlebih dahulu. Saya terilhami oleh gagasan Moore tentang tiga jalur menuju modernitas yaitu revolusi “dari atas” (oleh kelas penguasa), “dari tengah” (oleh kelas pemodal), dan “dari bawah” (oleh kelas petani) dalam suatu masyarakat (Moore, 1966). Karena artikulasi jalur-jalur itu untuk sebagian merujuk pada revolusi agraria, maka gagasan tersebut memiliki relevansi dengan reforma agraria. Dapat saya katakan, menurut sumber inisiatif, reforma agraria dapat dimotori oleh kelas penguasa (pemerintah), atau kelas pemodal (swasta), atau kelas petani (komunitas lokal). Secara berurutan jalur-jalur itu dapat disebut sebagai reforma agraria “dari atas”, “dari tengah”, dan “dari bawah”.
Gagasan tentang jalur-jalur reforma agaraia itu menunjuk pada tiga pelaku utama yaitu pemerintah, swasta, dan komunitas (petani). Sejalan dengan itu struktur agraria ataupun gerakan reforma agraria dapat digambarkan sebagai hubungan sosio-agraria triangular yang melibatkan ketiga pelaku tersebut di atas. Pusat hubungan adalah akses terhadap sumber-sumber agraria. Artinya, hubungan sosio-agraria hadir dalam konteks akses para pelaku terhadap sumber-sumber agraria (Sitorus, 2004a).
Studi-studi terdahulu tentang hubungan kelas, kekuasaan, dan perubahan agraria di pedesaan Indonesia, misalnya di dataran rendah Jawa (Pincus, 1996) dan di dataran tinggi Sulawesi (Sitorus, 2002), telah menuntun saya pada suatu tesis bahwa di belakang akses terhadap sumber-sumber agraria selalu hadir kekuasaan, dan di belakang kekuasaan hadir akses itu sendiri. Sejalan dengan itu, hubungan antara akumulasi sumber-sumber agraria dan akumulasi kekuasaan adalah suatu dialektika. Semakin besar kekuasaan pelaku, semakin besar pula aksesnya terhadap sumber-sumber agraria, dan sebaliknya juga berlaku. Karena itu terdapat alasan bagi setiap pelaku untuk mengakumulasi kekuasaan. Pemerintah mengakulasi kekuasaan politik, pemodal mengakumulasi kekuasaan ekonomi, dan petani mengakumulasi kekuasaan sosial. Tetapi, karena kekuasaan majemuk pada dasarnya lebih efektif dibanding kekuasaan tunggal, setiap pelaku itu senantiasa berupaya meraih dukungan kekuasaan dari pelaku-pelaku lainnya.
Dengan kerangka analisis di atas, dan sejalan dengan fokus analisis, maka dapat saya katakan bahwa kekuasaan sosial akan lebih efektif menggerakkan reforma agraria apabila didukung khususnya oleh kekuasaan politik. Tiga kasus komunitas tepi hutan di sekitar Taman Nasional Lore Lindu (TNLL), dataran tinggi Sulawesi Tengah, akan dipaparkan dan dianalisis di sini seturut kerangka analisis tersebut. Ketiga kasus itu dinamai di sini menurut nama lokasinya yaitu Dongi-dongi, Sintuwu, dan Toro. Di lokasi-lokasi tersebut berkembang gerakan reklaim tanah hutan yang di sini dan kini dipahami sebagai reforma agraria dari bawah. Dongi-dongi adalah pemukiman informal baru di dalam TNLL; Sintuwu adalah desa yang berbatasan dengan TNLL; dan Toro adalah satu desa enklaf di dalam TNLL.
Sebagai bagian dari Stability of Tropical Forest Margin Project Research, penelitian di tiga lokasi kasus dilakukan dengan strategi studi kasus. Tiap studi kasus difokuskan pada gerakan reklaim tanah hutan yang kini menjadi masalah pokok baik bagi Balai TNLL maupun bagi komunitas setempat. Data dikumpulkan melalui pengamatan berperanserta, wawancara mendalam, dan kajian dokumen secara triangular. Dengan menggunakan kerangka analisis reforma agraria dari bawah, analisa data saya arahkan pada pemaparan tentang detil kasus-kasus dan suatu diskusi tentang reforma agraria dari bawah.


2. Tiga Tipe Reforma Agraria dari Bawah
Taman Nasional Lore Lindu (217,991 ha) terletak di jantung pulau Sulawesi. Kawasan taman ini adalah penyatuan dari dua kawasan suaka alam (Suaka Alam Lore Kalamanta dan Suaka Alam Lore Lindu) dan satu kawasan lindung (Kawasan Hutan Lindung/Wisata Danau Lindu) (Wirawan et al., 1995). Penyatuan tersebut dilakukan tahun 1982 pada kesempatan The Third World National Park Conference di Bali. Tetapi proses perubahan ketiga kawasan lindung tersebut menjadi satu kawasan taman nasional dengan batas-batas yang permanen sesungguhnya sudah berlangsung sekitar 15 tahun (1982 – 1997).
Keseluruhan areal TNLL berada dalam wilayah administratif Kecamatan Kulawi dan Palolo, Kabupaten Donggala dan Kecamatan Lore Utara, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Menurut data statistik tahun 1997, terdapat 78 desa di ketiga kecamatan tersebut. Sejumlah 47 (60 persen) dari total desa itu berbatasan langsung dengan TNLL. Keseluruhan wilayah desa-desa di tepian TNLL itu mencakup sekitar 54 persen (3.416 km2) dari total areal desa dengan jumlah penghuni sekitar 67 persen (43.452 jiwa) dari total penduduk. Kepadatan penduduk sedikit lebih tinggi di desa-desa yang berbatasan dengan TNLL (13 jiwa/km2) dibanding rata-rata keseluruhan (10 jiwa/km2) (Sunito et all., 1999).
Data di atas memberi indikasi tentang kemungkinan penduduk untuk menerabas batas TNLL, mengingat kepadatan penduduk cenderung meningkat, sementara kegiatan pertanian masih tetap menjadi mata pencaharian utama. Beberapa studi terbaru telah memberikan bukti-bukti bahwa pertumbuhan penduduk, antara lain karena masuknya pendatang, telah menjadi suatu faktor yang mendorong perluasan areal pertanian ke dalam kawasan hutan TNLL (Maertens et al., 2002; Faust et al., 2003). Dari sudut pandang ekologi ekspansi tersebut jelas merupakan proses destabilisasi hutan. Tetapi dari sudut pandang sosio-agraria, ia dapat dipandang sebagai proses stabilisasi komunitas tepian hutan, jika ia dipahami sebagai suatu cara untuk mengatasi kesenjangan akses terhadap sumberdaya tanah.
Berdasar moda gerakan reklaim tanah, guna membingkai fakta reklaim penduduk atas hutan pemerintah di TNLL, saya mengembangkan tipologi reforma agraria dari bawah yang saya sebut tipe-tipe aneksasi, kultivasi, dan integrasi. Aneksasi adalah tipe reforma agraria dari bawah yang merujuk pada tindakan kolektif penduduk untuk secara paksa dan ilegal membuka, bercocok-tanam, dan sekaligus bermukim di sebidang tanah hutan negara. Sebaliknya integrasi adalah tipe reforma agraria yang merujuk pada kolaborasi negara dan komunitas lokal dalam manajemen sumberdaya hutan. Kultivasi berada di antara kedua tipe yang bertentangan itu. Kultivasi merujuk pada ambiguitas status tanah hutan yang direklaim: di satu sisi ia direklaim dan secara faktual ditanami atau diusahakan oleh penduduk, tetapi di lain sisi ia masih diklaim dan juga secara faktual dikelola sebagai bagian dari taman oleh Balai TNLL.
Mengingat setiap tipe reforma agraria dari bawah itu merujuk pada cara mendapatkan akses terhadap tanah, sebagaimana disinggung di atas, maka ia memberi indikasi adanya dukungan kekuasaan di belakang. Ini akan menjadi jelas dalam paparan kasus-kasus berikut: kasus aneksasi Dongi-dongi, kasus kultivasi Sintuwu, dan kasus integrasi Toro.

2.1. Tipe aneksasi: kasus Dongi-dongi[3]
Areal Dongi-dongi berada di dalam TNLL terentang sepanjang kilometer 66-79 di jalan provinsi pada ruas Palolo – Napu. Areal itu mencakup 3.500 ha tanah hutan di dua desa yaitu Sedoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Donggala dan Tongoa, Kecamatan Lore Utara, Kabupaten Poso. Kendati sebagian besar areal Dongi-dongi berada di Kecamatan Lore Utara, secara geografis ia lebih dekat ke Kecamatan Palolo. Dongi-dongi adalah areal dataran tinggi, berada 1.100 m di atas permukaan laut di hulu daerah aliran sungai Sopu-Gumbasa. Menurut draft dokumen Taman Nasional Lore Lindu – Rencana Manajemen 25 Tahun, areal Dongi-dongi termasuk dalam ketegori Zona Inti.
Pada 19 Juni 2001 sejumlah warga desa Kamarora A, Kamarora B, Kadidia dan Rahmat yang terorganisir dalam Forum Petani Merdeka (FPM) mengumumkan pendudukan Dongi-dongi di depan DPRD Sulawesi Tengah. Keempat desa tersebut berada di Kecamatan Palolo, berbatasan dengan TNLL, dan dihuni oleh komunitas-komunitas pindahan dari desa-desa dataran tinggi sekitarnya tahun 1973, 1978 dan 1979, melalui proyek-proyek pemukiman-ulang (resetlement) yang ditangani oleh Departemen Sosial, Departemen Transmigrasi, dan Departemen Kehutanan. Dua bulan selepas pengumuman tadi, sekitar 63.5 ha areal hutan Dongi-dongi telah dikonversi menjadi lahan pertanian dan pemukiman darurat, dengan melibatkan sejumlah 1.030 rumahtangga sebagai pelaku (Setyo and Neville, 2001). Satu tahun kemudian, areal bukaan tersebut telah meluas secara cepat hingga mendekati luas 3.400 ha (Kompas, 7 Augustus 2002).
Pendudukan hutan Dongi-dongi itu disebut sebagai aneksasi karena ia merujuk pada pendirian pemukiman dan upaya pengukuhan hak milik atas tanah sekaligus. Sekurangnya ada tiga faktor yang muncul ke permukaan dalam kasus aneksasi Dongi-dongi tersebut. Pertama, masalah agraria di desa-desa pemukiman-ulang. FPM berencana membuka hutan Dongi-dongi untuk keperluan pertanian lahan kering, perkebunan kopi dan kakao, dan pengumpulan rotan karena ketersediaan lahan di desa-desa pemukiman-ulang tidak mencukupi lagi untuk mendukung pemenuhan kebutuhan pokok mereka. Mereka melakukan tekanan terhadap DPRD agar meminta pemerintah memenuhi kekurangan lahan seluas 2.0 ha per rumahtangga yang dijanjikan kepada mereka, setelah pemerintah sejauh ini baru membagikan seluas 0.8 ha saja.
Kedua, perubahan rejim kehutanan. Pada dasarnya kondisi hutan Dongi-dongi adalah cerminan dari perubahan rejim sumberdaya hutan. Dalam periode 1976-1981, hutan Dongi-dongi tergolong sebagai areal hutan konsesi P.T. Kebun Sari, sebuah perusahaan perkayuan. Di bawah kondisi tersebut komunitas dari sembilan desa sekitar (Sintuwu, Bobo, Sigimpu, Bakubakulu, Rahmat, Kadidia, Kamarora A, Kamarora B, and Tongoa) masih memiliki akses terhadap sumberdaya hutan dan tidak dilarang untuk mengumpul rotan, menanam kopi, kakao, jagung, padi gogo, dan ubi kayu (Syahyuti, 2002: 66; Sondakh, 2002: 73).
Di awal 1980-an kegiatan pengusahaan kayu menurun tajam karena volume kayu meranti di hutan Dongi-dongi ternyata lebih kecil dari perkiraan semula (Sondakh, 2002). Sementara itu pada tahun 1981 kawasan hutan Lore Lindu, yang tumpang-tindih dengan areal konsesi P.T. Kebun Sari yang izinnya masih berlaku efektif kendati kegiatan eksploitasi telah berkurang, ditetapkan pemerintah sebagai kawasan suaka alam. Kebijakan kehutanan yang bersifat dualistik sekaligus antagonistik ini berlangsung di Dongi-dongi selama sekitar 11 tahun, sampai kemudian izin konsesi hutan P.T. Kebun Sari berakhir, dan areal hutan itu dikembalikan kepada pemerintah tahun 1993. Enam tahun kemudian areal hutan Dongi-dongi bersama dengan dua kawasan lindung lainnya menjadi satu unit manajemen yaitu TNLL. Dalam pandangan penduduk setempat, perubahan status hutan dari hutan produksi menjadi kawasan suaka alam dan kemudian taman nasional adalah suatu ancaman terhadap sumber penghidupan, tidak lain karena ia merubah rejim hutan dari akses terbuka menjadi akses tertutup.
Sebelum Dongi-dongi diduduki oleh FPM tanggal 19 Juni 2001, tercatat pernah sebanyak empat kali penduduk setempat mencoba memanfaatkan hutan Dongi-dongi untuk areal usahatani dan pemukiman. Pertama, tahun 1981 warga desa Bunga pernah sempat menduduki Village base camp P.T. Kebun Sari; kedua, tahun 1982 warga Kamarora mencoba membangun pemukiman di Dongi-dongi; ketiga, pada bulan Mei 1998 sekitar 450 rumahtangga, kebanyakan pengusaha kecil dari desa-desa Rahmat, Kamarora, Kadidia, Balompea dan Dangaran membuka 50 ha hutan Dongi-dongi; dan keempat, tahun 1999 sekitar 40 orang warga membuka hutan seluas sekitar 50 ha lagi. Tetapi, semua upaya percobaan pendudukan itu berhasil digagalkan oleh polisi hutan dan 80 orang warga sempat ditahan polisi terkait masalah itu (Forum Petani Merdeka, et al. 2001:3; Sangaji 2001a:8).
Uraian di atas mengindikasikan bahwa perubahan kebijakan negara tentang status hutan dari hutan produksi ke hutan lindung, yang dilakukan tanpa mempertimbangkan kondisi sosio-agraria di desa-desa sekitar, telah menciptakan konflik jangka panjang berkenaan dengan akses dan kontrol terhadap sumberdaya hutan. Konflik yang terjadi kemudian adalah konflik vertikal antara pemerintah dan komunitas lokal.
Ketiga, dukungan dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Pendudukan Dongi-dongi masih berlanjut saat tulisan ini dibuat. FPM didukung oleh Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sulawesi Selatan dan Yayasan Bantuan Hukum Rakyat. Keterlibatan dua LSM ini dengan segera menarik berbagai pihak terkait ke arena diskursus dan perjuangan politik. Mereka yang terlibat antara lain adalah penduduk Dongi-Dongi, LSM lokal, pemerintah lokal, Balai TNLL, DPRD Sulawesi Tengah, WALHI Jakarta, serta The Nature Conservacy (TNC) and CARE yang berkiprah di Sulawesi Tengah. Berbagai pihak tersebut pada mulanya mendukung konservasi TNLL, tetapi kemudian pecah menjadi kubu-kubu “pro” dan “kontra” atas pendudukan Dong-dongi.
Dampak lebih jauh dari pendudukan Dongi-dongi adalah peningkatan secara tajam kegiatan pencurian kayu (illegal logging) dan pengumpulan rotan oleh para pemukim. Kegiatan pencurian kayu berlangsung nyaris tanpa kesulitan karena mendapat dukungan dari sejumlah aparat keamanan, tentara, dan aparat pemerintah daerah. Hanya dalam tempo dua tahun, dampak negatif pencurian kayu itu sudah terasakan: korban jiwa (seorang pemukim Dongi-dongi meninggal dunia ditembak seorang polisi hutan) dan gangguan ekologis (banjir besar telah menyapu sebagian Dongi-dongi).

2.2. Tipe kultivasi: kasus Sintuwu[4]
Sintuwu, suatu desa yang relative padat penduduk di Kecamatan Palolo, telah berkembang dalam 30 tahun terakhir melalui proses migrasi multi-etnik. Komunitas desa tersebut terdiri dari lebih empat kelompok etnik (Kaili, Kulawi, Bugis, Toraja, dan lainnya), tetapi Kaili dan Bugis tampil sebagai dua kelompok utama. Orang Kaili adalah perintis desa yang sudah masuk ke wilayah itu sejak 1961. Mereka mengklaim diri sebagai “penduduk asli”, sementara orang Bugis disebut “pendatang”.
Dalam tahun-tahun 1960-an dan 1970-an formasi sosial Sintuwu dicirikan oleh dominasi produksi subsisten, khususnya usahatani padi sawah dan jagung. Tetapi, sekitar pertengahan 1980-an kakao diperkenalkan dan selanjutnya diusahakan secara luas, dalam cara yang kapitalistik, sebagai suatu tanaman “emas” baru. Sebagai konsekuensinya, sekurangnya sejak awal 1990-an, ketika usahatani kakao secara cepat meluas ke seluruh wilayah desa, dominasi cara produksi bergeser dari subsisten ke komersil atau kapitalis kecil (petty capitalist). Gejala ini kemudian disebut sebagai Revolusi Cokelat.”
Data pasti mengenai areal perkebunan kakao tidak tersedia, tetapi data tata guna tanah dapat dirujuk untuk menerangkan situasi. Setidaknya dalam tahun 1990-an, Sintuwu mengalami suatu perubahan drastis dalam tata guna tanah. Pada tahun 1998, data resmi Kecamatan Palolo mengindikasikan bahwa usahatani lahan kering (647 ha, 34%) bersama dengan areal perkebunan (491 ha, 25%), telah mendominasi ekologi desa, sementara areal sawah hanya tinggal sedikit (75 ha, 4%). Karena usahatani lahan kering juga mencakup pertanaman kakao (dalam pola tumpang-sari), dan areal perkebunan didominasi oleh tanaman kakao, maka dapat dikatakan hampir 60 persen dari wilayah desa ditutupi oleh kebun kakao. Tambahan lagi pekarangan juga ditanami kakao sehingga areal kebun kakao di Sintuwu pastilah lebih luas dari yang ditunjukkan data resmi.
Tata guna tanah yang kini berlangsung di Sintuwu adalah hasil pergeseran cara produksi dominan dari subsisten menjadi komersil atau kapitalis kecil. Dalam periode 1992-1998 hampir 72 persen dari lahan sawah di Sintuwu dikonversi menjadi kebun kakao, sehingga luas areal persawahan menurun drastis dari 270 ha tahun 1992 menjadi hanya 75 ha tahun 1998. Alasan utama konversi lahan sawah tersebut adalah harga tinggi kakao, sekurangnya sampai paruh pertama 1990-an.
Tidak diragukan lagi, pada tahun 1990-an usahatani kakao adalah komoditas penghasil keuntungan di Sintuwu. Dalam dekade itulah perluasan kebun kakao di Sintuwu berlangsung secara drastis dalam dua cara. Cara pertama adalah konversi areal pertanian subsisten, yaitu lahan sawah, ladang jagung, dan pekarangan menjadi kebun kakao. Konversi tanah menjadi kebun kakao terutama dilakukan oleh orang Bugis, yang membeli lahan sawah dan lahan kering dari umumnya orang Kaili.
Cara kedua untuk perluasan, yang dicap ilegal oleh Balai TNLL, adalah merambah hutan dan menanaminya dengan kakao. Ini terutama dilakukan oleh orang Kaili dengan cara mereklaim hutan yang kini tercatat sebagai kawasan LLNP. Tidak ada data pasti tentang skala perambahan, tetapi informan memperkirakan bahwa pada pertengahan 2001 warga Sintuwu telah mengusahakan sekitar 100 ha di dalam kawasan TNLL. Inilah yang saya sebut sebagai reforma agraria dari bawah dengan tipe kultivasi.
Penjelasan untuk reklaim dan pengusahaan tanah hutan dapat ditarik dari gejala “Revolusi Cokelat”. Revolusi ini telah membawa sedikitnya dua perubahan nyata di Sintuwu, yaitu privatisasi tanah dan akumulasi surplus berikut pembentukan modal. Semenjak usaha kakao mendominasi kegiatan ekonomi, dan bersamaan dengan itu mayoritas sumberdaya tanah di dalam desa telah beralih ke tangan orang Bugis melalui pembelian, gejala pemilikan pribadi atas tanah jelas terbaca melalui proses sertifikasi tanah. Peralihan hak milik tanah dari Kaili ke Bugis, mengindikasikan gejala kedua, yaitu akumulasi surplus khususnya di kalangan orang Bugis. Lazimnya, begitu orang-orang Bugis berhasil mengakumulasi surplus dari kebun kakao, selanjutnya mereka akan menggunakan surplus itu untuk mengakumulasi modal dengan cara membeli lagi tanah dari “penduduk asli”. Pada akhirnya dapat dikatakan bahwa “Revolusi Cokelat” telah mengangkat orang Bugis menjadi golongan “tuan tanah baru”, tetapi sebaliknya menjatuhkan orang Kaili menjadi golongan “tunakisma baru”.
Jelas bahwa di bawah ekonomi kakao orang Kaili mengalami penurunan basis ketahanan sosial-ekonomi, sementara orang Bugis sebaliknya mengalami peningkatan. Kebun kakao telah menjadi indikator kesejahteraan sosial-ekonomi di kalangan warga Sintuwu. Orang Kaili, sudah barang tentu, sangat ingin juga mengusahakan kakao secara luas, seperti halnya orang Bugis. Tetapi mereka dihadapkan pada masalah kelangkaan tanah di dalam desa, karena mayoritas lahan telah dikuasai oleh orang Bugis. Situasi ini menimbulkan semacam kecemburuan di pihak orang kaili dan, pada taraf tertentu, menimbulkan juga ketegangan sosial di antara kedua kelompok etnik utama itu.
Untuk mengatasi masalah penurunan basis ketahanan sosial-ekonomi tersebut, orang kaili kemudian mencari basis baru di luar desa dan menemukan kawasan hutan sebagai alternative terbaik. Orang Kaili kemudian merambah kawasan hutan TNLL dan mengusahakan kakao secara luas di sana. Perambahan tersebut tentu saja mengantarkan orang Kaili ke arena sengketa tanah dengan Balai TNLL. Di satu pihak Balai TNLL menyatakan bahwa orang Kaili telah menerobos batas taman nasional dan menuduh mereka sebagai perambah tanah hutan. Di lain pihak orang Kaili tidak menerima batas taman nasional hasil penetapan tahun 1982. Menurut mereka batas taman nasional telah masuk menjajah sejauh sekitar dua kilometer ke dalam desa, diukur dari “batas tradisional” di dalam hutan. Pada kenyataannya orang Kaili telah membuka dan menanami tanah hutan jauh hari sebelum batas resmi taman nasional ditetapkan secara sepihak tahun 1982. Bercocok-tanam di dalam kawasan hutan adalah cara orang Kaili mengakumulasi basis ketahanan sosial-ekonomi, semenjak mereka termarginalisasi oleh “Revolusi Cokelat”.
Bagaimanapun juga, bercocok-tanam di dalam kawasan hutan TNLL adalah kegiatan illegal. Tetapi di aras lokal kegiatan itu didukung oleh kepala desa dengan mengeluarkan Surat Keterangan Pengolahan Lahan bagi setiap rumahtangga Kaili yang membuka hutan untuk usaha kebun kakao. Dapat dikatakan bahwa di balik pengusahaan tanah hutan oleh orang Kaili terdapat kekuasaan politik kepala desa. Pada kenyataannya kepala desa adalah pemimpin reklaim tanah hutan, karena ia sendiri telah memberi contoh dengan mengusahakan setidaknya sebidang tanah di dalam kawasan TNLL. Ia juga memimpin rakyatnya dalam suatu kesempatan unjuk rasa tahun 1998 di Balai TNLL, dalam rangka memperjuangkan hak berusahatani di dalam kawasan hutan. Hasil unjuk rasa itu adalah suatu kesepakatan: penduduk desa memiliki hak atas tanaman (khususnya kakao dan kopi) sementara negara (Balai TNLL) tetap memiliki hak atas tanah hutan.

2.3. Tipe integrasi: kasus Toro[5]
Toro terletak di atas lembah Kulawi di sebelah barat kawasan TNLL. Dikitari oleh hutan taman nasional di sebelah timur, selatan, dan utara, ia dapat disebut sebagai desa enklaf di dalam TNLL. Desa ini dihuni oleh sekitar 540 rumahtangga, sebagian terbesar di antaranya termasuk dalam kelompok etnik Toro.
Total luas wilayah Toro adalah 22.950 ha tetapi hanya sekitar 1000 ha dari luasan itu yang diusahakan secara permanen. Selebihnya adalah tanah hutan dan bagian dari TNLL. Sekitar 475 ha dari lahan pertanian permanen itu adalah sawah, sedangkan sisanya seluas 525 ha ditanami palawija atau kakao dan kopi. Dengan sedikit perkecualian, seluruh rumahtangga di Toro hidup dari pertanian, wanatani, dan pengumpulan hasil hutan antara lain berburu dan mengumpul kayu, rotan, dan getah damar.
Struktur pemilikan tanah di Toro tidak mengindikasikan distribusi yang ekstrim. Hanya ada sejumlah kecil rumahtangga yang menguasai lebih dari 5.0 ha tanah, termasuk di dalamnya penguasaan sawah seluas lebih dari 2.0 ha. Sekitar 80 unit rumahtangga menguasai tanah kurang dari 0.5 ha; bagi mereka akses ke sumberdaya hutan sangat penting untuk menjamin nafkah. Hal serupa juga benar untuk lebih dari 200 unit rumahtangga yang memiliki tanah kurang dari 1.0 ha, terlebih jika pemilikan tanah itu tidak mencakup sawah.
Akses penduduk desa terhadap sumberdaya hutan secara resmi ditutup tahun 1982, ketika otoritas pemerintah menarik garis batas antara wilayah desa dan kawasan hutan TNLL. Penetapan garis batas itu sama sekali tidak mempertimbangkan aturan adat setempat dan juga tidak memperhatikan pola pemanfaatan tanah yang berlaku setempat. Satu hal yang pasti, pelanggaran terhadap batas TNLL akan diganjar dengan sanksi berat.
Situasi ini berubah drastis pada pertengahan Juli 2000, ketika hak adat masyarakat Toro atas tanah desa diakui oleh Balai TNLL. Balai TNLL mengeluarkan pernyataan pengakuan atas 18.360 ha tanah desa yang berada di dalam taman nasional, sebagai tanah adat yang dikelola di bawah tanggung jawab masyarakat Toro. Hal ini yang saya sebut sebagai integrasi manajemen tanah hutan ke dalam lingkungan otonomi masyarakat, yang dapat dipahami sebagai sebuah reforma agraria dari bawah. Tetapi dalam waktu yang bersamaan, wilayah hutan adat tersebut masih tetap menjadi bagian dari TNLL, sehingga dapat disimpulkan bahwa desa Toro sampai taraf tertentu juga terintegrasi dengan manajemen TNLL.
Proses lokal pencapaian keberhasilan tersebut, yang dapat disebut sebagai proses ”pembelajaran organisasi” (learning organization), telah melewati perjuangan panjang sejak 1997. Perjuangan dimulai sejak LSM lokal, yakni Yayasan Tanah Merdeka (YTM), memasuki Toro dengan misi meningkatkan kesadaran masyarakat akan hak-hak politik mereka. Inisiatif ini memicu tokoh-tokoh pimpinan desa untuk menggali dan merevitalisasi norma adat yang pernah menjadi perangkat utama untuk mengatur hubungan manusia-manusia dan hubungan manusia-alam di masa lalu, dan juga aturan-aturan adat yang masih berlaku saat ini.
Setelah melalui proses wawancara panjang dengan tetua desa dan pendokumentasian yang rinci, mereka berhasil menggali kembali kearifan tradisional Toro berkenaan dengan ekologi hutan. Menurut kearifan tradisional tersebut kawasan hutan terbagi ke dalam beragam tipe pemanfaatan menurut status perlindungannya, yaitu: (a) Wana Ngkiki yaitu kawasan hutan yang secara ekologi paling rapuh sehingga dilarang untuk ditanami, (b) Wana yaitu kawasan hutan primer tempat hasil-hasil hutan dapat diambil secara selektif, (c) Pangale yaitu kawasan hutan sekunder yang pernah ditanami dan diperbolehkan untuk ditanami kembali, (d) Oma yaitu kawasan hutan yang dialokasikan untuk pertanian lahan kering. Selanjutnya, atas dasar pengetahuan ini, masyarakat Toro dengan dibantu oleh oleh YTM membuat peta tanah adat Toro yang kemudian digunakan sebagai dasar untuk mereklaim tanah desa (Sohibuddin, 2003).
Tentu saja, di samping kehadiran LSM lokal, ada juga faktor-faktor eksternal lain yang berperan penting dalam proses di atas. Salah satunya adalah pemberlakuan Undang-Undang No. 22/1999 tentang pemerintahan daerah yang mengakhiri periode panjang pemerintahan dan kontrol politik yang sentralistik dengan memberikan otonomi secara substansi kepada daerah. Di tingkat desa undang-undang ini memberikan ruang kepada masyarakat desa untuk lebih berpartisipasi dalam mengatur urusan pemerintahan dan politik mereka. Undang-undang ini juga memungkinkan tumbuhnya institusi desa yang baru, dan pemulihan kembali institusi desa yang lama (seperti lembaga-lembaga adat), serta menempatkan pemimpin desa di bawah kontrol demokrasi. Di Toro undang-undang ini memberikan sumbangan besar dalam penciptaan semangat ”kebangkitan”. Faktor kondusif lainnya adalah pendekatan manajemen TNLL yang ”berorientasi manusia”, yang mencoba mendamaikan kepentingan perlindungan hutan dan kebutuhan komunitas sekitarnya.
Dampak keberhasilan ini adalah suatu perubahan struktural. Tadinya, begitu hutan dinyatakan sebagai milik negara, lembaga adat di Toro dan juga di desa-desa lain di sekitar TNLL, tidak dimungkinkan lagi mengambil inisiatif untuk resolusi konflik terkait pemanfaatan sumberdaya hutan secara ilegal. Keterlibatan semacam itu dianggap sebagai ancaman terhadap intervensi negara. Tetapi, karena kekurangan tenaga, dalam prakteknya Balai TNLL tidak mampu mengontrol dan menegakkan hukum pada masyarakat lokal, sehingga perambahan hutan tetap saja merajalela. Sekarang, resolusi konflik resolusi atas masalah-masalah hutan di Toro secara eksklusif ditangani oleh lembaga adat.
Meskipun praktek pengaturan internal merupakan hal yang biasa di desa-desa sekitar wilayah TNLL, kasus Toro memperlihatkan beberapa kekhususan. Di sana, sesuai dengan komposisinya, lembaga adat merepresentasikan kekuatan-kekuatan sosial tradisional, keagamaan, dan modern/sekuler. Yuridiksinya juga sangat kukuh dan tak terbantahkan. Hal yang lebih penting lagi adalah keberadaan sistem hukuman berjenjang yang telah berkembang di masa lalu dan masih hidup dalam pengetahuan ekologi komunitas lokal.

3. Diskusi
Seperti telah dijelaskan dimuka, di balik akses pada sumberdaya tanah terdapat basis kekuasaan. Artinya, di belakang setiap pelaku reforma agraria pada kasus-kasus Dongi-dongi, Sintuwu dan Toro, terdapat dukungan kekuasaan. Dalam ketiga kasus tersebut, para pelaku utama adalah Balai TNLL dan komunitas lokal. Suatu pertanyaan kemudian dapat diajukan: apa saja tipe-tipe dan sumber-sumber kekuasaan yang mereka miliki.
Balai TNLL memiliki akses atas wilayah hutan lindung berdasarkan kekuasaan politik yang dikukuhkan oleh seperangkat peraturan dan perundangan negara. Kawasan lindung di Indonesia seperti TNLL diatur dan dikelola oleh negara berdasarkan UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan (menggantikan UU Nomor 5/1967 tentang Pokok-pokok Pengelolaan Kehutanan), UU Nomor 5/1990 tentang Pelestarian Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya, UU Nomor 24/1992 tentang Tata Ruang, UU Nomor 5/1974 tentang Ratifikasi Konvensi PBB tentang Keragaman Hayati, dan UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan (menggantikan UU Nomor 4/1982 tentang Pokok-pokok Pengelolaan Lingkungan). Sebagai tambahan, UU Nomor 5/1960 tentang Peraturan-Peraturan Pokok Agraria terkait erat dengan pengelolaan kawasan-kawasan yang dilindungi. Semua undang-undang tersebut merupakan sumber kekuasaan dalam arti otoritas bagi negara, yang direpresentasikan oleh Balai TNLL, untuk mengontrol dan mengelola kawasan hutan lindung Lore-Lindu secara eksklusif.
Bagaimanapun juga, hukum dan kebijakan negara atas wilayah yang dilindungi tersebut, khususnya yang berhubungan dengan taman nasional, mengandung sejumlah masalah kritis. Pertama, tafsir yang berlaku umum atas UU Kehutanan (UU No.41/1999) dan UU Pelestarian (UU No. 5/1990) masih merujuk pada Domain Verklaaring warisan pemerintah kolonial. Dengan tafsir seperti itu, kedua undang-undang itu memberikan kepada negara suatu hak legal yang bersifat eksklusif untuk mengontrol sumberdaya hutan, termasuk hak-hak untuk mengesahkan akses, pemanfaatan, dan kontrol atas sumberdaya. Kebijakan dan hukum negara semacam itu membawa implikasi bahwa jika suatu wilayah yang ditunjuk sebagai kawasan lindung, baik sebagai kawasan suaka alam maupun sebagai kawasan pelestarian alam, maka wilayah tersebut menjadi tertutup untuk kegiatan pemanfaatan secara tradisional, antara lain pertanian, perburuan, dan pengumpulan hasil-hasil hutan (kayu, rotan, damar). Dengan kata lain, kebijakan dan hukum negara secara mendasar telah merubah akses, penggunaan dan kontrol atas sumberdaya. Politik pelestarian alam yang tidak mempertimbangkan hak-hak komunitas lokal ini telah menimbulkan konflik antara komunitas lokal (baik penduduk asli maupun pendatang) dan negara di banyak kawasan lindung di Indonesia (Lynch dan Harwell 2002; Colfer dan Resosudarmo, 2002).
Kedua, dalam rangka pengelolaan taman nasional, pemberlakuan kebijakan negara semacam itu telah membawa implikasi pengutamaan aspek biologi dan ekologi di atas kepentingan komunitas lokal. Hal ini ditunjukkan oleh kriteria yang digunakan untuk menentukan zonasi taman nasional seperti dinyatakan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 68/1998. Semua kriteria yang terdapat dalam peraturan tersebut dan kemudian digunakan untuk menentukan zona inti, zona hutan, dan zona pemanfaatan dikembangkan berdasar pengetahuan ilmiah guna pelestarian keragaman hayati dan ekosistemnya. Sementara itu, narasi lingkungan hidup dan kehidupan dari penduduk lokal, yang memiliki hubungan sosial-ekonomi dan budaya yang erat serta tradisi yang panjang dengan lingkungan alamnya, sama sekali tidak diperhitungkan sebagai suatu kriteria penting dalam proses zonasi taman nasional.
Kedua persoalan kritis tersebut, bagaimanapun juga, telah menimbulkan sejumlah penolakan dari komunitas pinggiran hutan, karena akses untuk menggunakan kawasan hutan telah diputus oleh negara. Karena implementasi kebijakan kawasan lindung dinilai tidak adil dalam hal distribusi akses terhadap sumberdaya tanah, penduduk lokal kemudian mengartikulasikan penolakan mereka dengan melanggar peraturan dan undang-undang dengan cara mereklaim dan menanami tanah dalam kawasan hutan. Wujud gerakan penolakan tersebut, yang disini dinamai sebagai reforma agraria dari bawah, dalam ’bentuk aslinya’ terutama didukung oleh kekuatan rakyat (people power) atau kekuasaan sosial. Sebelum kejatuhan rezim Soeharto dan pemberlakuan UU Nomor 22/1999, kekuatan rakyat selalu dihakimi pemerintah sebagai anarkisme. Dalam kasus TNLL, seperti ditunjukkan dengan kasus-kasus Dongi-dongi, Sintuwu, dan Toro setidaknya dalam periode 1982-1998, setiap penduduk desa yang melanggar batas taman nasional pasti dituduh sebagai aktor kriminal.
Kejatuhan rezim Soeharto dan pemberlakuan UU Nomor 22/1999 telah memungkinkan perubahan nyata pada karakter kekuatan (kekuasaan) rakyat. Kekuatan rakyat kini diberdayakan dengan kekuasaan politik melalui sekurangnya dua cara. Pertama, kejatuhan rezim Soeharto sendiri telah mengakhiri dominasi pemerintah yang amat berkuasa secara politik atas ”komunitas tanpa kuasa”. Secara implisit, sebagaimana diindikasikan oleh peningkatan reklaim tanah di Indonesia, berakhirnya dominasi pemerintah di satu sisi adalah awal pemberdayaan komunitas secara politik di sisi lain. Kasus aneksasi di Dongi-dongi dan kasus kultivasi di Sintuwu terjadi seturut alur logika tersebut. Kedua, pemberlakuan UU Nomor 22/1999 ditafsirkan oleh masyarakat -- dengan dukungan dari LSM -- sebagai suatu kesempatan untuk menghidupkan kembali otonomi masyarakat lokal. Alur logika ini diikuti dalam kasus integrasi di Toro melalui revitalisasi pengetahuan dan pengaturan yang asli lokal. Revitalisasi semacam ini memberikan bagi komunitas Toro kekuatan politik untuk tawar-menawar dengan Balai TNLL guna memenangkan integrasi tanah hutan di dalam TNLL ke dalam pengaturan komunitas lokal seperti halnya juga integrasi komunitas Toro ke dalam manajemen taman nasional.



4. Penutup
Sebagaimana telah saya kemukakan, akses pada sumberdaya tanah adalah suatu gejala kekuasaan. Sejalan dengan itu, seperti yang telah ditunjukkan melalui tiga kasus di muka, reklaim tanah hutan yang di sini dipahami sebagai reforma agraria dari bawah pada dasarnya adalah pertarungan kekuasaan antara para pelaku yaitu negara (yang direpresentasikan Balai TNLL) dan komunitas lokal (Dongi-dongi, Sintuwu, dan Toro). Saya telah menggolongkan reforma agraria dari bawah ke dalam tiga tipe, yaitu aneksasi, kultivasi, dan integrasi yang digambarkan secara berturut-turut dengan kasus Dongi-dongi, Sintuwu, dan Toro. Bagaimanapun, jika saya setuju dengan pelestarian ekologi dan biologi dan secara bersamaan juga penjaminan keamanan sosial-ekonomi komunitas pinggiran hutan, maka saya cenderung untuk memilih cara integrasi Toro sebagai suatu ”kisah sukses” reforma agraria dari bawah. Kasus Toro ini memberikan inspirasi untuk pemikiran-ulang atas tesis ”tragedi pemilikan bersama” (tragedy of the commons) dari Hardin. Hutan adat Toro saat ini ”milik bersama” yang dikelola secara kolaboratif oleh pengaturan komunitas dan otoritas taman nasional; pola ini memberikan predikat unik untuk kasus hutan adat Toro yaitu ”akses terbuka-terbatas” (open-restricted access).


Ucapan Terimakasih
Tulisan ini didasarkan pada satu seri kegiatan penelitian di bawah Stability of Tropical Rainforest Margin (STORMA) Project Research, kerjasama antara Georg-August University of Gottingen (Jerman), University of Kassel (Jerman), Institut Pertanian Bogor dan Universitas Tadulako, Palu. Penelitian didanai oleh DFG Pemerintah Jerman. Terimakasih kepada Dr. Soeryo Adiwibowo dan Prof. Michael Fremerey yang telah mengijinkan saya menggunakan hasil penelitian mereka untuk menyusun tulisan ini. Terimakasih pula kepada Anastasia Endang Nugrahaningsih yang telah membantu saya menerjemahkan tulisan ini ke dalam bahasa Indonesia.


Rujukan
Colfer, C.J.P. & I.A.P. Resosudarmo, 2002, Which Way Forward? People, Forest, and Policy Making in Indonesia, Washington, DC: RFF Press Book.
Faust, H., M. Maertens, R. Weber, N. Nuryartono, T. van Rheenen & R. Birner, 2003, Does Migration Lead to Destabilization of Forest Margin? Evidence from an Interdisciplinary Field Study in Central Sulawesi, STORMA Discussion Paper Series No. 11, Gottingen & Bogor : STORMA.
Forum Petani Merdeka, Yayasan Bantuan Hukum Rakyat, Yayasan Tanah Merdeka, Yayasan Pendidikan Rakyat & WALHI Sulteng, 2001. Kronologi Kasus Dongi-dongi: Sejarah dan Permasalahan yang Dialami oleh Desa Rahmat, Kamarora A, Kamarora B dan Desa Kadidia, Palu.
Lynch, O.J. & E. Harwell, 2002, Whose Natural Resource? Whose Common Good?: Towards a New Paradigm of Environmental Justice and the National Interest in Indonesia, Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat.
Maertens, M., M. Zeller & R. Birner, 2002, Explaining Agricultural Landuse in Villages Surrounding the Lore Lindu National Park in Central Sulawesi, Indonesia, STORMA Discussion Paper Series No. 4, Gottingen & Bogor: STORMA.
Moore, B., 1966, Social Origins of Dictatorship and Democracy, Boston: Beacon.
Pincus, J.R., 1996, Class Power and Agrarian Change, London: Macmillan Press Ltd, New York: St. Martin’s Press, Inc.
Sangaji, A., 2001a, Potret Taman Nasional Lore Lindu: Buruk Pendekatan, Rakyat Disalahkan, Position Paper 03/YTM/2001, Palu: YTM.
Sangaji, A., 2001b, Konflik Agraria di Taman Nasional Lore Lindu: Tersungkurnya Komunitas-Komunitas Asli, Makalah yang disajikan dalam Policy Dialogue on Knowledge and Rights of the Customary Community around Lore Lindu National Park, Palu: Yayasan Tanah Merdeka and NRM/EPIQ.
Sitorus, M.T.F., 2004a, “Kerangka dan Metode Kajian Agraria” dalam Jurnal Analisis Sosial Vol. 9, No. 1, April 2004, pp 111-24.
_____________, 2004b, “Revolusi Cokelat”: Social Formation, Agrarian Structure, and Forest Margins in Upland Sulawesi, Indonesia, in G. Gerold, M. Fremerey & E. Guhardja, Land Use, Nature Conservation and the Stability of Rainforest Margins in Southeast Asia, Berlin, Heidelberg & New York: Springer-Verlag.
_____________, 2002, Land, Ethnicity and the Competing Power: Agrarian Dynamics in Forest Margin Communities in Central Celebes, Indonesia, STORMA Discussion Paper Series No. 5, Gottingen & Bogor: STORMA.
Shohibuddin, M. 2003. Artikulasi Kearifan Tradisional Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Sebagai Proses Reproduksi Budaya: Studi Komunitas Toro di Pinggiran Kawasan Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah, Bogor: Institut Pertanian Bogor (Master Thesis).
Sondakh, J.O.M., 2002, Pola Pengaturan Pemanfaatan Sumber-Sumber Agraria serta Implikasinya pada Keberlanjutan Kelompok Sosial dan Kelestarian Alam: Studi Kasus pada Masyarakat di Dua Desa di sekitar Kawasan TNLL Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah, Bogor: Institut Pertanian Bogor (Master Thesis).
Sunito, S., S. Mamar, M. Mappatoba & M. Abdulkadir, 1999, Socio-Economic Aspects of Village Communities in and Around the Lore Lindu National Park, Bogor: Institut Pertanian Bogor, University of Gottingen, Universitas Tadulako & University of Kassel.
Wirawan, N., J. Foeh, A. Achmad, M. Sudana, B. Umar & I.B. Rabindra, 1995, Rencana Pengelolaan Taman Nasional Lore Lindu (Buku I), Palu: Sub-Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Tengah.

[1] Dalam versi bahasa Inggeris dan judul berbeda, tulisan ini pernah disajikan dalam International Conference on Land and Resource Tenure in Changing Indonesia: Questioning the Answers, 11 Oktober 2004 di Jakarta.
[2] Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
[3] Terutama didasarkan pada S. Adiwibowo, 2004, Dongi-dongi: A Culmination of Multi Dimensional Conflict. A Political-Ecology Perspective (PhD Dissertation Draft).
[4] Didasarkan terutama pada MTF Sitorus, 2004b, “Revolusi Cokelat”: Social Formation, Agrarian Structure, and Forest Margins in Upland Sulawesi, Indonesia, in G. Gerold, M. Fremerey & E. Guhardja, Land Use, Nature Conservation and the Stability of Rainforest Margins in Southeast Asia, Berlin, Heidelberg & New York: Springer-Verlag.
[5] Didasarkan terutama pada M. Fremerey, 2002, Local Communities as Learning Organizations: The Case of the Village of Toro, Central Sulawesi, Indonesia, STORMA Discussion Paper Series, No. 6, Gottingen & Bogor: STORMA.

Tidak ada komentar: