Jumat, 18 Januari 2008

DINAMIKA POLITIK PEMBARUAN DESA

DINAMIKA POLITIK PEMBARUAN DESA
(Refleksi Kritis Atas Pembaruan Desa 2005)
Oleh Gregorius

Politik pembaruan desa tahun 2005 tidak hanya mengalami involusi demokrasi dan good governance, tetapi juga masih terbatas pada upaya resinasi dan resultante dari politik pembaruan desa, sebagaimana yang terjadi pada tahun sebelumnya, terutama dinamika politik yang terjadi tahun 2004. Semenjak dikeluarkannya UU NO.32/2004 yang menandai arah perubahan dan konjungtur politik pembaruan desa tahun 2004, desa relatif menghadapi persoalan yang bersumber dari orentasi, arah perubahan dan figura kebijakan pemerintah tentang desa.

Orentasi utama politik pembaruan desa sebagaimana diamanatkan UU No.32/2004 adalah untuk memperkuat pelayanan publik di desa. Stagnasi demokrasi dan tatakelola pemerintahan desa yang “tidak jelas dan tak terukur” dipandang menjadi soal pokok mengapa desa terus berkutat pada kemiskinan, keterbelakangan, tidak demokratis, bad gvernance dan sebagainya. Pemerintah pusat sebagaimana tertuang dalam UU No.32/2004, khususnya pada pasal 200[1] (tentang pemerintahan desa dan badan permusyawaratan desa) dan pasal 202 (tentang sekdes yang berasal dari PNS) menghendaki arah perubahan desa ke desa yang dapat menjalankan pelayanan publik secara maksimal. Kritikan pedas yang menandai arah perubahan ini, terutama sekali berkaitan dengan pemberengusan Badan Perwakilan Desa. BPD yang menjadi lokomotif berjalannya demokrasi dan tatakelola pemerintahan desa yang sehat[2] (rural village governance) “dihancurkan” dan digantikan dengan Badan Permusyawaratan Desa (BAMUSDES). Bamusdes sendiri tidak memiliki kekuasaan dan kewenangan untuk mengontrol jalannya pemerintahan desa, sehingga kehadiran Bamusdes lebih mencerminkan logika politik pemerintah untuk mengkoptasi dan memproteksi stabilitas politik di desa.

Logika politik pemerintah yang bekerja dalam ranah memperkuat pelayanan publik tanpa instabilitas politik atau dengan upaya “mengharmoniskan kembali” hubungan antara pemerintah desa dengan lembaga-lembaga politik lainnya di desa[3], justru dilihat masyarakat desa sebagai strategi “negara” (pemerintah supradesa) untuk terus menghegemoni, mengontrol dan mengendalikan loyalitas masyarakat desa terhadap pemerintah. Hal ini sama persis dengan logika politik depolitisasi dan deidologisasi dalam figurasi kebijakan pemerintah Orde Baru terhadap desa yang justru mematikan sendi-sendi dasar demokrasi dan tatakelola pemerintahan desa yang berbasis pada “local wisdom”. Nilai-nilai lokal yang menjadi sendi-sendi dasar demokrasi di aras desa, digantikan dan digembos melalui ekspansi dan masifikasi nilai-nilai kekuasaan negara. Negara menjadi monster (menjamin berlangsungnya penjagaan ketertibaan dan keamanan melalui pos ronda dan polisi tidur) untuk membuat desa terus-menerus tunduk dan setia pada kehendak negara. Resinasi dari wajah kekuasaan negara yang beringas ini hadir dalam bentuk kekuasaan yang tersentral dan terpusat dalam komando kepala desa di level desa. Karenanya, kehadiran UU No.32/2004 dibaca oleh desa dan banyak pengamat, termasuk praktisi yang bergelut di desa sebagai upaya “resentralisasi” dan negaranisasi desa. Perlawanan yang paling gigih terhadap UU No.32/2004 muncul dari aliansi BPD dan anggota BPD yang tersebar di berbagai desa, menolak kehadiran Bamusdes.[4]

Ketika resentralisasi dan negaranisasi desa mendapat perlawanan dari level desa, konstruksi kebijakan pemerintah justru menjadi destruktif dan terkesan membiarkan dinamika politik di desa berjalan sendiri, mengalir bagai air, tanpa disertai trobosan-trobosan yang sangat jelas untuk memperkuat institusionalisasi kehadiran negara di desa melalui pengangkatan PNS yang membantu negara (pusat) mengelola dan memperkuat pelayanan publik di desa. Hingga memasuki penghujung 2005, dan sampai dengan saat ini kesan negara yang membiarkan sekdes dan Bamusdes terpasung dalam logika kebijakan, tanpa implementasi (tidak didukung adanya peraturan pemerintah tentang pembentukan atau pengangkatan Sekdes yang PNS dan Bamusdes), memperkuat alasan histories bahwa pemerintah Republik Indonesia dari dulu sampai dengan saat ini, tidak mendorong perubahan politik di desa ke arah yang semakin baik, malah menjadi pemicu meluasnya malpraktik demokrasi, otonomi dan tatakelola pemerintahan yang buruk di level desa. Kebijakan-kebijakan yang “memeras desa” seperti bantuan keuangan yang disertai persyaratan swadaya tinggi[5] (daya ukur partisipasi), bantuan langsung tunai (BLT) yang melemahkan kemandirian dan kapasitas masyarakat mengelola self governing-nya, bantuan penguatan sarana dan prasarana di daerah pedesaan dan sebagainya, justru menjadi cambuk stagnasi dan involusi demokrasi dan pembaruan desa, menjadi desa yang makmur dan demokratis.
Orentasi (kebutuhan pragmatisme kekuasaan pemerintah pusat), arah perubahan dan figura kebijakan pemerintah yang mengkerdilkan kembali relaksasi politik di desa yang sudah berkembang kian jauh di bawah UU No.22/1999, menjadi titik pokok (vocal point) pembaruan politik yang involutif dan berjalan di tempat sepanjang tahu 2005 lalu.

Agenda dan Pembaruan Politik Desa 2005

Dinamika politik pembaruan desa sepanjang tahun 2005 mencatat record stagnansi dan involusi yang sangat luar biasa. Stagnansi dan involusi tersebut sangat mempengaruhi perkembangan demokrasi dan tatanan pemerintahan yang demokratis di level desa. Kata kunci pengelolaan pemerintahan desa yang demokratis dengan standar-standar prosedural seperti partisipasi, akuntabilitas, transparansi, responsif dan sebagainya, tidak lagi bergaung di tahun 2005. Lenyapnya simptom-simptom tersebut merupakan dampak dari resultante perubahan UU No.22/1999 dengan UU No.32/2004.

Stagnansi dan involusi demokrasi desa, lebih banyak disumbangkan oleh menguatnya peran-peran negara di aras pusat, dengan serangkaian agenda yang pada titik tertentu “akan” menghasilkan arus balik penguasaan negara terhadap desa. Beberapa agenda perubahan yang terjadi sepanjang tahun 2005 dan perlu dibaca sebagai refikasi negara kuat yang dihadirkan dan ditonjolkan UU No.32/2004 adalah sebagai berikut; (1) regulasi dan birokratisasi desa; (2) integrasi politik desa ke dalam negara; (3) harmonisasi hubungan antara lembaga politik desa; (4) struktur kekuasaan pemerintah desa yang monolitik dan konsentrik; (5) institusi desa yang heterogen dengan pluralisme yang terbatas; (6) otonomi desa yang bersandar pada given autonomy (autonomy by state); (7) sistem pemerintahan desa dengan akuntabilitas ke atas; (8) demokrasi desa yang design by state; (9) keuangan desa dengan sistem alokasi anggaran yang belum jelas; (10) relasi desa dengan lembaga lain yang lebih mencerminkan kepentingan fungsional ketimbang kesadaran politik dan; (11) relasi antara struktur keuasaan yang mencerminkan atasan dan bawahan, bukan hubungan patnersip. Untuk jelasnya lihat table berikut.

Tabel Agenda dan pembaruan politik tahun 2005
Agenda
Pembaruan Politik
Preferensi pemerintah
Titik Perubahan
Regulasi dan birokratisasi desa
Sekdes yang berasal dari PNS
Untuk memperkuat pelayanan publik di level desa
Tidak jelas dan tidak terarah, karena peraturan pemerintahnya belum terbit
Integrasi politik desa ke dalam negara
Desa bertanggungjawab kepada Bupati melalui Camat
Memperkuat loyalitas desa terhadap negara
Desa loyal kepada supradesa ketimbang kepada rakyat
Harmonisasi hubungan antar lembaga politik desa
BPD digantikan dengan Bamusdes
Menciptakan dan memelihara stabilitas politik di level desa
Percecokan dan sengketa kepentingan antara pemerintah desa dengan lembaga perwakilan desa berkurang
Struktur kekuasaan desa
Monolitik, sentralistik dan kosentrik
Pengambilan keputusan berjalan lancar
Menghilangkan kontrol BPD terhadap pemerintah desa
Institusi desa
Heterogen dan pluralisme terbatas
Demokrasi desa yang dikendalikan
Desa tunduk pada pemerintahan yang ada di atasnya.
Otonomi desa
Otonomi yang diberikan (given autonomy), bukan otonomi asli (self-autonomy) atau otonomi kontraktual (contractual autonomy)
Masifikasi dekonsentrasi dan kepentingan negara ke desa
Kewenangan desa yag dirumuskan pusat (pasal 2060
Sistem pemerintahan
Heterogen dan pluralisme terbatas
Ketakutan terhadap munculnya otokrasi (raja-raja desa) yang melawan supradesa
Peluang pembentukan desa sesuai dengan ciri khas masing-masing daerah tidak ada
Demokrasi desa
Demokrasi by design-dirancang pemerintah pusat
Mendorong demokrasi tanpa konflik
BPD yang digantikan Bamusdes tapa kekuasaan kontrol pemdes
Keuangan desa
Mengatur dengan jelas keuangan desa dalam pasal 212
Menjamin pembiayaan pembangunan sarana dan prasarana di desa
Peraturan pemerintahnya belum tegas tentang alokasinya (tetapi sekarang sudah dijamin dengan PP/72/2006
Relasi desa dengan lembaga lain
Fungsional dan efektif
Mendorong kerja sama desa dengan lembaga-lembaga lainnya.
Menjamin kerja sama antar desa (pasal 214)
Relasi antara struktur kekuasaan
Supradesa menjadi atasan desa
Menjaga loyalitas desa dan menjamin demokrasi tanpa instabilitas
Desa bertanggungjawab kepada pemerintah supradesa (Kabupaten)

Meneropong Praktik Politik Pembaruan Desa 2005

Konsepsi politik pemerintah yang dituangkan dalam UU No.32/2004, telah menjadi catatan penting dinamika emprikal praktik politik pembaruan desa sepanjang tahun 2005. Pertama, implikasi dari regualasi dan birokrasi terhadap desa melalui kebijakan penataan aparat pelaksana yang bertugas untuk memperkuat pelayanan publik di desa, dalam banyak kasus ditemukan fakta bahwa telah terjadi pertarungan perebutan posisi untuk menjadi sekdes di beberapa desa dengan iming-iming bahwa setelah menjadi sekedes pemerintah kemudian akan mengangkat mereka menjadi PNS. Di beberapa desa di Jawa Tengah juga, banyak sekdes yang menuntut agar segera diangkat menjadi PNS. Bahkan desa-desa di mana masa tugas sekdesnya habis, terpaksa sekdesnya dikosongkan menunggu kejelasan pemerintah pusat untuk mengangkat sekdes menjadi PNS.

Kedua, integrasi politik desa ke dalam negara nampak terlihat di beberapa desa, dimana akuntabilitas pemerintahan tidak lagi dipertanggungjawabkan kepada rakyat, tetapi langsung disampaikan kepada Bupati melalui Camat. Namun perlu diakui bahwa di banyak desa yang ada di DIY dan Jateng, akuntabilitas pemerintah desa masih ditujukan kepada rakyat melalui BPD.

Ketiga, harmonisasi hubungan antara lembaga politik desa yang tercipta melalui pemberengusan kekuasaan kontrol BPD terhadap pemerintah desa, menyebabkan “matinya” semangat demokrasi representatif di level desa. BPD sebagai lokomotif demokrasi desa di banyak desa, khususnya di luar Jawa mengalami metamorfosa, dari BPD yang galak menjadi BPD yang “tumpul” dan lebih banyak diamnya, pasif dan tidak aktif mengontrol pemerintah desa.

Keempat, struktur kekuasaan pemerintah desa yang monolitik dan konsentrik, kembali mendapatkan “ruang” yang leluasa di level desa sejalan dengan kebijakan pemerintah menggantikan BPD dengan Bamusdes. Di banyak desa di luar Jawa (juga beberapa di Jawa), kepala desa kembali tampil sebagai orang yang “maha kuasa” di level desa. Bahkan dalam berbagai kesempatan yang kami temui di lapangan, ada kecendrungan kepala desa untuk melenyapkan BPD yang ada di desa. Kepala desa mulai mengganggap BPD sebagai enemy of the power kepala desa, sehingga mereka antusias dan senang sekali ketika kekuasaan BPD diberengus.

Kelima, kita menyaksikan juga bahwa di banyak daerah, akibat keluarnya UU No.32/2004 telah tercipta institusi desa yang heterogen dengan pluralisme yang terbatas. Artinya, masyarakat lokal diberikan kesempatan untuk membentuk desa sesuai dengan local wisdom mereka, tetapi pemerintah pusat masih memiliki kendali yang kuat untuk merepresi kemungkinan-kemungkinan terjadinya arus balik ke pembentukan desa tradisional atau desa adat. Property right masyarakat atas nilai-nilai lokalnya, tidak lagi mendapat proteksi, sebagaimana dengan UU No.22/1999. Banyak desa yang terpaksa mempertahankan institusi modern yang diwariskan oleh Orde Baru dan terus dipertahankan hingga tahun 2005.

Keenam, kita menyaksikan bahwa otonomi asli di banyak desa telah dihancurkan dan desa-desa di banyak tempat terus bergerak mengikuti otonomi desa yang bersandar pada given autonomy (autonomy by state) atau otonomi yang diberikan negara, dirumuskan dalam pasal-pasal yang dibuat pemerintah pusat. Dampaknya, kreativitas masyarakat terus berkurang dan kapasitasnya dalam menjalankan pemerintahan semakin terbatas. Kreativitas dan kapasitas yang terbatas merupakan dampak dari resentralisasi yang berkembang sejalan dengan dikeluarkannya UU No.32/2004. Dalam kadar yang sama, kita juga melihat bahwa desa-desa telah berkembang menjadi desa yang loyal dan setia kepada pemerintah atasannya, dan tidak lagi tunduk dan patuh pada kepentingan masyarakat. Apalagi demokrasi desa telah dikoptasi oleh negara dengan meruntuhkan wibawa BPD menjadi Bamusdes yang kehadirannya hanya sebagai lembaga “tukang stempel”.

Ketujuh, perlu diakui bahwa perhatian pemerintah terhadap alokasi keuangan ke desa, sedikit demi sedikit mulai meningkat dengan adanya ketentuan tentang perimbangan keuangan antara kabupaten dengan desa. Walau sampai dengan penghujung 2005, kita terus menyaksikan bahwa banyak sekali desa yang sepanjang tahun 2005 merindukan adanya alokasi anggaran yang jelas yang diberikan ke desa. Dengan keluarnya PP/72/2006, menjadikan kerinduan desa tersebut sedikit terobati.

Berdasarkan pengalaman dan praktik empirik agenda dan pembaruan desa 2005 yang lalu, kita sedikitnya bisa membuat peta proyeksi dan predikisi dinamikan pembaruan politik 2006 dan dari situ kita bisa membuat agenda yang tepat untuk mengatasi serangkaian persoalan dan tantangan nyata yang mungkin akan dihadapi.***

[1] Lihat juga pasal 209 yang secara khusus mengatur tentang Badan Permusyawaratan Desa
[2] Ini tercermin dari amanat UU No.22/1999
[3] Ini terjadi karena pemerintah pusat menganggap BPD sebagai lembaga tukang kritik dan pengganggu stabilitas politik di desa
[4] Cara yang paling halus yang dilakukan oleh BPD adalah dengan “tidak mau” merubah dirinya menjadi Bamusdes. Lagipula, di banyak desa seperti di Bantul, Gunung Kidul, dan di Sleman, kepala desa, masyarakat dan perangkat desa, tetap mempertahankan BPD.
[5] Swadaya adalah tolak ukur partisipasi masyarakat dalam pembangunan yang perlu dikritisi mengingat penetrasinya yang kian jauh telah mengurangi beban dan tanggungjawab negara terhadap masyarakat desa, dialihkan menjadi beban dan tanggungjawab masyarakat terhadap desa

Tidak ada komentar: