Jumat, 18 Januari 2008

Belajar dari Desa

Belajar dari Desa

____Ariefa'id al-flourez____

Belajar dari Desa

GAGASAN mengenai arti penting kedudukan dan peranan kelembagaan desa dalam skema pembangunan nasional dan penanganan bencana, sebenarnya bukan merupakan hal yang baru, Sejak penguasaan masa kolonial, menyadari eksistensi kelembagaan yang ada di desa sebagai basis perlawanan rakyat revolusioner dengan tingkat solidaritas dan gotong royong relative tinggi merupakan modal sosial yang berpotensi untuk menentang dominasi kolonialisme kapitalis Belanda. Kekuatan nilai-nilai local wisdom tersebut satu sisi bukan hanya menakutkan bagi kolonialisme, akan tetapi juga dimanfaatkan oleh kolonial untuk merumuskan konsep pemerintahan saat itu, hal itu terlihat pada pengakuan desa dan kelembagaan yang ada di dalamnya sebagai bagian dari struktur pemerintahan Hindia Belanda melalui ordonansi khusus yang dikenal dengan nama De Indlandsche Gemeente Ordonantie (IGO) yang dimaklumatkan melalui Ind. Stb. 1906 No. 83, yang dimaksudkan untuk mengatur urusan pengelolaan berikut kepentingan rumah tangga komunitas-komunitas dan kelembagaan yang ada di pedesaan pribumi. Artinya bahwa Kolonialisme Belanda menganggap bahwa desa dengan kearifan yang dimilikinya merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan untuk memperkuat dukungan sekaligus sebagai basis ekspolitasi, karena desa menyediakan berbagai hasil bumi serta tenaga kerja yang murah. Kondisi yang tidak jauh berbeda terjadi pada masa kekeuasaan rezim orde baru, dimana desa satu sisi diangap sebagai basis kekuatan ekonomi, khususnya dibidang pertanian, namun pada sisi yang lain kebijakan-kebijakan yang gulirkan cenderung mengeksploitasi desa serta masyarakat yang ada di dalamnya, sehingga ketika bencana terjadi, masyarakat desa yang sebenarnya memiliki kemampuan survive harus takluk dalam skema sentralisasi dan eksploitasi.
Memasuki era reformasi, desa; sedikit banyak mengalami perubahan, khususnya pada level regulasi, dimana melalaui UU No.22tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi UU No.32 tahun 2004. Dalam beberapa klausulnya merekomendasikannya pengakuan hak-hak desa, seperti adanya kekebasan bagi masyarakat untuk menentukan pemimpinnya (kepada desa), membentuk berbagai kelompok sosial masyarakat serta adanya dana alokasi untuk desa yang diambil dari APBN.

Uraian tersebut diatas, setidaknya ada hal penting sebenarnya yang dapat kita formulasi dalam proses recovery pasca bencana maupun penanggulangan resiko bencana, khususnya yang terjadi dikawasan pedesaan, yaitu dengan optimalisasi potensi dan sumberdaya (local wisdom) yang ada di desa sebagai landasan untuk penanggulangan dan recovery bencana, anggapan ini tentu saja sesuai dengan pengalaman penulis ketika terlibat dalam proses recovery di Bantul, dimana sekitar 5 jam setelah gempa terjadi, saya dan kawan-kawan (dkk) LSM yang saya naungi melakukan evakuasi dan memberikan pertolongan kepada warga korban (kegiatan tersebut bersifat emergency respon; praktis tanpa perencanaan yang matang). Pada waktu yang bersamaan saya dkk menginisiasi pembentukan tim yang bertugas membantu korban. Tim ini beranggotakan; perwakilan dari seluruh tokoh agama, tokoh masyarakat, pemerintah desa, kelompok dan kelembagaan sosial yang ada di desa, serta asosiasi-asosiasi dan perkumpulan warga yang ada di Bantul, atas kesepakatan bersama, maka tim ini diberi nama Tim Sukarelawan Pemulihan (TSP) Bantul. Ada tiga tugas utama tim ini yaitu; merekrut relawan, membuka akses jaringan bantuan, serta mediasi dan advokasi.
Pertama, rekruitmen relawan; adalah upaya yang dilakukan dalam rangka mencari dan mengalokasikan tenaga-tenaga sukarelawan untuk melakukan kerja-kerja evekuasi dan pertololongan baik medis maupun non medis. Sasaran rekrutmen relawan ini antaralain; mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi (Jogjakarta, Jawa timur, Jawa Tengah, Jawa Barat) serta masyarakat umum dari desa-desa yang ada disekitar DIY. Prinsip dasar rekrutmen relawan tersebut adalah solidaritas kemanusiaan. Proses rekrutmen relawan ini dengan menggunakan metode undangan terbuka dan kerjasama sosial kemanusiaan. a). Rekrutmen relawan dari perguruan tinggi; Proses rekrutmen relawan dari PT, TSP membuat surat permohonan kepada PT yang bersangkutan untuk mengirimkan mahasiswanya sebagai relawan dengan inisiatif bahwa mahasiswa yang tergabung dalam TSP dapat dan akan dikategorikan sebagai peserta Kuliah Kerja Nyata sebagai wujud pengabdian masyarakat. Selain menggunakan permohonan resmi, ada juga beberapa perguruan tinggi dari luar DIY, yang mendaftarkan diri untuk bergabung di TSP baik person maupun kelompok.
b). Rekrutmen relawan dari Masyarakat Umum; Konsep dasar yang digunakan dalam merekrutmen relawan dari masyarakat umum, adalah solidaritas dan kerjasama antar kelembagaan sosial yang ada di desa-desa sekitar DIY. Penggunaan konsep ini dilatar belakangi oleh konsep hubungan sosial dan kekerabatan masyarakat Jawa (khususnya warga masyarakat Bantul dengan daerah sekitarnya) yang guyub rukun serta gotong royong. Oleh sebab itu Bantul sebagai salah satu barometer kekuatan kelembagaan desa, sehingga TSP tidak mengalami kesulitan mendapatkan relawan, dimana kekuatan yang dibangun adalah solidaritas dan kerjasama antar karang taruna, antar pedukuhan, antar RT, antar kelompok tani, pedagang, BPD dan antar pemerintah desa. Proses rekrutmen ini tentu saja yang kami libatkan adalah jaringan-jaringan kelembagaan sosial yang ada di desa, kami memberikan kebebasan dan otonom kepada mereka untuk merektrut relawan dari desa-desa tetangganya.
Hal yang penting sebelum melakukan rekrutmen relawan adalah perlu secara abstrak mengidentifikasi kebutuhan warga korban agar disesuaikan dengan kemampuan relawan dan penempatan relawan tersebut di posko-posko TSP.
Relawan yang sudah terdaftar di posko utama TSP, akan diberikan pengarahan, penjelasan, serta pembagian tugas dan wilayah pendirian posko (technical meeting) oleh tim Rekrument TSP. Semua peserta relawan teregistrasi di posko induk untuk memudahkan kordinasi dan konsolidasi. Dalam pembagian kelompok yang dialokasi di posko-pokso telah ditentukan, relawan dari suatu perguruan tinggi akan digabungkan dengan PT lain dan warga masyarakat umum, dengan tujuan untuk memudah interaksi sosial dan transformasi skill dan pengalaman.
Kedua, membuka akses jaringan bantuan. Kerja dari pencari bantuan ini adalah menggalang dukungan bantuan yang bersifat materi, seperti sembako, obat-obatan dan tenaga medis, pakaian, tenda, dan perabot rumah tangga, perlengkapan kerja. Dalam kerja-kerja membuka akses jaringan bantuan ini adalah tetap memberdayakan kelembagaan sosial yang ada di desa, dimana jaringan-jaringan kerjasama yang telah ada sebelum gempa tetap menjadi perhatian utama dari tim ini, alhasil selama melakukan tugasnya, tim pencari bantuan ini berhasil menghimpun dukungan bantuan materi dari berbagai desa yang ada di kabupaten-kabupaten disekitar DIY dan bahkan mendapatkan dari luar pulau jawa.
Ketiga, tim mediasi dan advokasi; tugas dari tim ini adalah memediasi masyarakat korban, baik dalam bentuk jaringan bantuan maupun berbagai persoalan yang dihadapi oleh warga korban. Selain itu juga tim ini bekerja melakukan advokasi terhadap warga korban terkait memperjuangkan hak-haknya sebagai korban. Untuk diketahui bahwa penggunaan media massa merupakan hal penting untuk mentransformasikan informasi kondisi dilokasi bencana, dan saat saya yang beri tugas merekrut, mealokasikan, dan mengkoordinasikan melakukan kerja sama dengan beberapa radio dan media cetak yang ada di Jogjakarta untuk mengkomunikasikan hal tersebut.

Membantu yang Memberdayakan
Selama terlibat dalam TSP tersebut banyak hal dapat penulis temukan dilapangan, berbagai kejadian-kejadian yang dinggap diluar dugaan, kejadian-kejadian tersebut antaralain, adanya korban yang belum ditangani dengan baik oleh medis, baik kondisi fisiknya maupun masalah biaya, ada juga yang menumpuk bantuan (walaupun presentasenya kecil), cash for work, terjadinya perebutan wilayah kekuasaan “garapan” korban gempa, serta kasus-kasus lainnya yang menurut saya semua orang yang terlibat dalam proses recovery Jogjakarta, dan Bantul khususnya dapat menyaksikan sendiri kejadian-kejadian tersebut
Atas dasar pengalaman tersebut, tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan menguraikan bagaimana sebenarnya skema memberikan bantuan yang memberdayakan. Gempa yang terjadi di Jogjakata dan daerah sekitar, tentunya diluar kempuan kita dengan teknologi yang masih minim untuk dapat memprediksikan bahwa itu akan terjadi, demikian juga dengan bencana alam-lainnya. Maka ketika kita berbicara penanganan pasca terjadinya bencana tersebut, maka siapapun yang akan terlibat dalam proses tersebut, syarat utama yang harus penuhi adalah mengatahui bagaimana kondisi masyarakat sebelum bencana dan setelah bencana. Syarat ini lebih diutamakan pada proses penanganan jangka panjang. Artinya identifikasi bukanya hanya dilakukan ada kebutuhan-kebutuhan warga korban, akan tetapi indentifikasi kondisi sosial masyarakat bertujuaan agar proses recovery tersebut tepat sasaran dan memberdayakan masyarakat.

Strategi bagi penguatan peranan kelembagaan desa (memberdayakan) dalam menanggulangi dan penanganan pasca bencana dapat dilakukan melalui analisis isu utama dan isu fungsional dalam skema penanggulangan bencana. Sebagai isu utama, perlu dilakukan terobosan konstitusional untuk memberikan bingkai konstitusional bagi penanganan bencana. Hal ini berarti diperlukan langkah langkah-langkah strategis secara berkelanjutan untuk mendesakkan agenda penyusunan konstitusi, dengan menskenariokan penguatan kewenangan pemerintah lokal dan kelembagaan lokal ke dalam konstitusi. Strategi ini bertujuan untuk memudahakan koordinasi dan penguatan kerjasama antar pemerintah daerah serta adanya desentralisasi kewenangan dalam membuat kebijakan tentang penanganan bencana, dimana pemerintah pusat hanya bersifat fasilitator dengan memakasimalkan tugas pembantuannya kepada daerah. Manakala pengakuan secara konstitusional masalah penanggulangan resiko bencana ini sudah berhasil diperoleh, langkah-langkah strategis yang menjadi bagian dari isu sekunder, fungsional dan minor akan lebih mudah dilakukan secara gradual. Dimana pemerintah daerah harus dengan giat mendorong partisipasi masyarakat agar terlibat dalam berbagai perumusan kebijakan dan implementasinya, khususnya yang berkaitan dengan pengurangan resiko bencana, sehingga proses tersebut menjadi upaya memberdayakan masyarakat.

Salah satu metode untuk menggerakan arah perubahan dan perbaikan pasca bencana dari bawah adalah melalui penguatan partisipasi dan kapasitas rakyat, khususnya masyarakat desa. Partisipasi yang hendak dikembangkan didasarkan pada pemahaman bahwa warga masyarakat memiliki hak penuh untuk menentukan hitam dan putihnya kondisi pemerintah, sosial, ekonomi, politik dan budaya di daerahnya. Warga masyarakat memiliki hak penuh untuk menentukan arah gerak sosial kultur serta kinerja pemerintah. Hak tersebut terkait langsung dengan eksistensi rakyat dalam skema kenegaraan. Oleh sebab itu, menjadi ironis kemudian ketika proses penanganan bencana yang terjadi saat ini, baik pemerintah maupun NGO cenderung melakukan “intrevensi” terhadap hak-hak warga masyarakat, khususnya warga korban, dengan menegasikan nilai-nilai lokalitas yang terintegrasi dalam kelembagaan lokal. Penanganan bencana ini tentu saja dirumuskan dalam penanganan jangka panjang. Para pemberi bantuan (siapapun) harus merumuskan dan memprediksikan apa yang akan terjadi pasca bantuan itu dihentikan, maka sejak awal harus disadari bahwa suatu proses recovery dan rekonstruksi pasca bencana, warga korban harus diposisikan sebagai subyek dan bukan sebaliknya. Sehingga disinilah pentingnya pengembangan partisipasi masyarakat karena akan menempuh dua langkah sekaligus, yakni: (1). Memperkuat kapasitas kritis masyarakat dan (2). Memperkuat kelembagaan yang ada. Upaya perbaikan (recovery) pasca bencana melalui penguatan kapasitas masyarakat dan kelembagaan social di desa dengan mengelaborasi konsep checks and balances melalui peran empat aktor (pemerintah, Warga, Pasar, dan Swasta;NGO,PT) merupakan salah satu solusi yang dapat ditawarkan, sehingga proses recovery tersebut bersifat holistik. Maka strategi yang mungkin dilakukan untuk melakukan suatu penanganan yang holistic terhadap recovery dan penanggulangan bencana dapat dilakukan melalui: (1). Penguatan kapasitas kelembagaan desa baik yang bersifat nilai-nilai lokalitas maupun kelembagaan yang bersifat institusi formal dengan memberikan mereka peran dan monitoring, sambil melakukan “tawar menawar” secara kritis dengan negara untuk membuka kembali konsep pembagian peran dan pemenuhan hak-hak dasar warga; (2). Strategi pembentukan regulasi tentang penanganan bencana yang berbasis pada nilai-nilai lokalitas melalui konsep partisipasi, baik pada level pemerintah pusat sampai pemerintah desa yang mewacanakan keseimbangan hubungan manusia dengan lingkungan dengan landasan pemikiran pemberdayaan masyarakat yang otonom; dan (3). Strategi pembagian peran dan koordinasi antar dan lintas 4 element ( pemerintah, warga, pasar, dan swata;NGO) dalam memperkuat kapasitas kritis masyarakat, baik pada level recovery maupun pada level penanggulangan resiko bencana dalam skema holistik

Tidak ada komentar: