Kamis, 17 Januari 2008

Demokrasi; Pemilu dan Parpol

Demokrasi; Pemilu dan Partai Politik

(sebuah konsep dasar)

__Ariefa'id al-flourez___

Demokrasi

Demokrasi adalah sebuah bentuk pemerintahan oleh rakyat. Jalan konkrit untuk mengorganisasikan bentuk pemerintahan, dan pertanyaan mengenai kondisi dan pra kondisi yang dibutuhkan telah di perdebatkan secara intensif selama beberapa abad. Tentu saja sumbangan pertama dalam diskusi ini berasal dari jaman Yunani kuno.

Istilah demokrasi berasal dari gabungan dua kata bahasa Yunani : demos (rakyat) dan kratos (pemerintah). Defenisi “pemerintah oleh rakyat” mungkin terdengar lugu, tetapi pengertian tersebut segera memunculkan sejumlah isu yang kompleks. Isu-isu terpenting yang dirangkum jitu dalam sebuah laporan ilmiah kajian tentang demokrasi:

1) Siapakah yang dimaksud dengan “rakyat”

2) Jenis partisipasi apakah yang dianggap kondusif bagi partisipasi, dapatkah disisentifkan, atau biaya dan manfaat, dari partisipasi dibuat sama

3) Seberapa luas dan seberapa sempit lingkup pemerintahan yang dimaksud. atau bidang apakah yang cocok bagi kegiatan demokrasi.

4) Jika “pemerintah” mencakup politik, apakah maksudnya. Apakah meliputi; hukum dan tata tertib, hubungan antara negara, ekonomi, dan bidang dalam negeri atau bidang privat

5) Apakah pemerintah oleh “rakyat” harus dipatuhi, adakah wadah untuk kewajiban dan perbedaan-perbedaan;

6) Mekanisme apakah yang diciptakan bagi mereka yang secara aktif di nyatakan sebagai “non-partisipan”;

7) Dalam keadaan apakah, jika ada, demokrasi berhak mengambil jalan kekerasan terhadap rakyatnya sendiri atau terhadap mereka yang berada diluar bidang pemerintahan yang sah. ( George Sorensen, 2003, hal; 2)

Terlihat dengan mudah bahwa pembicaraan mengenai demokrasi harus meliputi tidak hanya teori tentang cara-cara yang dimungkinkan untuk mengorganisasikan pemerintahan oleh rakyat, tetapi juga filsafat tentang apa yang seharusnya (yaitu cara-cara terbaik membangun pemerintahan) dan pemahaman tentang pengalaman praktis mengorganisasikan pemerintahan dalam masyarakat yang berbeda pada waktu yang berbeda.

Demokrasi, seperti yang dirumuskan oleh Joseph Schumpeter secara sempit adalah :

“Baginya demokrasi secara sederhana merupakan sebuah metode politik, sebuah mekanisme untuk memilih pemimpin politik. Warga negara di berikan kesempatan untuk memilih salah satu diantara pemipimpin-pemimpin politik yang bersaing meraih suara. Diantara pemilihan, keputusan dibuat oleh politisi. Pada pemilihan berikutnya, warga negara dapat mengganti wakil yang mereka pilih sebelumnya. Kemampuan untuk memilih diantara pemimpin-pemimpin politik pada masa pemilihan inilah yang disebut dengan demokrasi”.
Dalam kalimat Schumpeter, “metode demokrasi adalah penataan kelembagaan untuk sampai pada keputusan politik dimana individu meraih kekuasaan untuk mengambil keputusan melalui perjuangan kompetitif untuk meraih suara” (J.Schumpeter, 2003: hal; 13-14).
Sedangkan pengertian secara komperhensif yang di uraikan oleh David Held, Held menggabungkan pemahaman pendangan liberal dan tradisi Marxis untuk sampai pada arti demokrasi yang mendukung suatu prinsip dasar otonomi :

“Orang seharusnya bebas dan setara dalam menentukan kondisi kehidupannya; yaitu, mereka harus memperoleh hak yang sama (dan, karena itu, kewajiban yang sama) dalam suatu kerangka pikir yang menghasilkan dan membatasi peluang yang tersedia untuk mereka, asalkan menyebarkan kerangka pikir ini untuk meniadakan hak-hak oranglain”.

Pembuatan prinsip tersebut, yang oleh Held disebut sebagai otonomi demokrasi (democratic autonomy), membutuhkan baik akuntabilitas negara dalam derajat yang tinggi dan suatu pemesanan kembali masyarakat sipil. Otonomi demokrasi meramalkan partisipasi substansial secara langsung pada lembaga-lembaga komunitas lokal dan manajemen diri (self-management) perusahaan umum. Otonomi demokrasi membutuhkan pernyataan hak-hak manusia (bill of ringhts) di luar hak memilih untuk memberikan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dan untuk menemukan preferensi pribadi dan pengawasan akhir poleh warga negara terhadap agenda politik. (Held, 2003: hal; 14-15).
Demokrasi tidak haya berarti hak memilih pemerintah meskipun ini juga hal sangat penting. Demokrasi merupakan keseluruhan bentuk hak yang harus bisa dimiliki oleh warga negara apabila suatu pemerintahan itu terbuka, dapat dipercaya dan partisipatif. Hak-hak ini meliputi kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan pers, kebebasan berserikat, misalnya serikat buruh atau kelompok penekan; akses kepada informasi khususnya menangani rencana pemerintah terutama bagi mereka yang terkena secara langsung dan hak untuk diajak bicara dalam keputusan seperti ini, serta kebebasan dari segala bentuk diskriminasi, apakah itu berdasarkan jenis kelamin, ras ataupun agama.

Bila secara epistimologi, demokarasi berarti “pemerintahan rakyat” atau dengan kata lain bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan yang mengikutsertakan rakyat secara aktif dalam proses politik yang demokratis. Sedangkan dalam ilmu politik, dikenal dua macam pemahaman tentang demokrasi yaitu pemahaan secara normatif dan pemahaan secara empirik. Pertama, dalam pemahaman secara normatif, demokrasi merupakan sesuatu yang secara idiil hendak dilakukan atau diselenggarakan oleh sebuah negara atau sebuah pemerintahan dengan harapan bahwa pelaksanaan tata pemerintahan tetap mengacu pada koridor yang telah ditetapkan bersama dengan melihat kodisi sosial, politik, ekonomi dan budaya masyarakat, sebab dalam sebuah sistem pemerintahan yang demokrasis (normatif) bahwa pemerintah itu dibentuk untuk melayani masyarakat, seperti misalnya kita mengenal ungkapan “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Ungkapan normatif tersebut biasanya diterjemahkan dalam konstitusi pada masing-masing negara, misalnya dalam UUD 1945 bagi Pemeritahan Republik Indonesia.

“ kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat” (pasal 1 ayat 2)

“ kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pendapat dengan lisan dan tulisan dan sebagainya, ditetapkan dengan undang-undang” (pasal 28).

Kutipan pasal-pasal pada ayat-ayat UUD 1945 diatas merupakan defenisi secara normatif dari demokrasi, dimana defenisi ini tentu saja dapat dijadikan acaun untuk menyelenggarakan suatu sistem pemerintahan yang demokratis yang mengedepankan aspirasi dan partisipasi masyarakat sebagai pemegang kedaulatan. Tetapi kita juga harus memperhatikan bahwa apa yang normatif belum tentu dapat dilihat dalam konteks kehidupan politik sehari-hari dalam suatu negara. Kedua, pemahaman demokrasi secara empirik, yakni demokrasi dalam perwujudannya dalam kehidupan politik praktis yang menjabarkan dan melaksanakan indikator-indikator demokrasi seperti yang diugkapkan oleh Juan Linz;

“ bahwa dalam sebuah pemerintahan dapat dikatakan sistem politik demokratis, apabila suatu pemerintahan itu memberikan kebebasan untuk berbicara, berkumpul/berorganisasi, kebebasan mendapatkan informasi, kebebasan menentukan sikap politik, adanya kompetisi yang terbuka dalam penentuan kepemimpinan serta tidak adanya intimidasi dan upaya kekerasan (represif) dalam mengambil sebuah keputusan” (Juan Linz dalam Demokrasi dan Demokratisasi; Geoge Sorensen;2003)

Dalam pemahaman demokrasi dalam koteks empirik, maka kita dituntut untuk mengamati; apakah dalam suatu sistem politik pemerintah memberikan ruang gerak yang cukup bagi warga masyarakat untuk melakukan partisipasi guna memformulasi preferensi politiknya melalui organisasi politik yang ada. Selain itu kita juga dapat melihat bagaimana kompetisi antara pemimpin dilakukan secara teratur (regular basis) untuk mengisi jabatan politik.
Demokasi adalah sebuah konsep inklusif. Demokrasi pada dasarnya berarti pemerintah oleh rakyat. Rakyat dalam hal ini pada prakteknya memang dibatasi dengan beberapa cara: ‘mayoritas’, ‘warga’, berhak memilih dan dipilih dan seterusnya. Dengan kata lain, memang pada prakteknya tidak seluruh rakyat perindividu bisa terlibat dalam proses demokratik, namun paling tidak semua elemen masyarakat yang eligible terakomodasi disana.

Demokrasi modern dihadapkan pada kenyataan kompleksitas masyarakat, sehingga pemilihan dan perwakilan menjadi azas yang sangat penting di dalamnya, sebagai alternatif terhadap demokrasi secara langsung yang bisa diterapkan dalam masyarakat sederhana. Terlepas dari itu, demokrasi punya dua dimensi yang mutlak harus ada; prosedur dan semangat. Prosedur yang berkaitan dengan tatacara serta pola hubungan antara lembaga dan aktor yang bermain dalam proses formal demokrasi. Dalam hal ini elemen-elemen seperti pemilu, partai politik, lembaga perwakilan menjadi sangat penting.

Semangat berkaitan dengan prinsip-prinsip dasar yang harus terpenuhi dalam penyelenggaraan demokrasi. Beberapa prinsip penting antara lain, pertama, demokrasi mendasarkan diri pada pola hubungan dialogis, sebagai kebalikan hubungan monologis antara pemimpin dan yang dipimpin, antara negara dan masyarakat, antara pemerintah dan rakyat, dan seterusnya. Kedua, sebuah proses dan sistemik demokratik mendasarkan diri secara mutlak terhadap seperangkat hukum dan tata aturan main yang disepakati bersama, serta tak seorangpun yang berkedudukan lebih tinggi dari hukum itu.

Ketiga, setiap keputusan dalam proses demokratik harus bersifat partisipatif terhadap semua pihak, terutama yang bakal dikenai oleh keputusan itu. Keempat, pihak yang diberi mandat untuk memimpin bertanggungjawab sepenuhnya kepada pihak yang memberi mandat, yakni rakyat. (Annual Report, IRE, 2002)

Sebagai sebuah semangat, maka demokrasi pada intinya adalah sebuah nilai universal yang tunggal, yang bisa diterapkan dan ditemui di sudut manapun dipermukaan bumi ini; sementara sebagai prosedur, demokrasi memang memiliki sejumlah besar varian, dimana tak satu varianpun bisa serta-merta dianggap lebih unggul dari pada varian yang lainnya. Berjalannya proses demokratik secara baik akan lebih menjamin rasa saling percaya antara elemen-elemen masyarakat, serta antara masyarakat dengan negara; dan sebaliknya, dalam sebuah sistem yang tidak demokratik. Meski secara prosedural demokrasi seringkali terasa bertele-tele dan membutuhkan biaya yang mahal serta waktu yang cukup banyak, namun hingga saat ini demokrasi merupakan sistem yang paling fair dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara pada setiap levelnya.

D.1.2. Pemilihan Umum

Pemilihan umum merupakan sebuah proses politik yang diselenggarakan oleh suatu pemerintahan dalam rangka menentukan dan memilih pemimpin bagi pemerintahan tersebut. Sedangkan dalam ilmu politik, sistem pemilihan umum (pemilu) diartikan sebagai suatu kumpulan metode atau cara warga masyarakat memilih para wakil mereka (Lijphart, 1995)

Dalam sistem negara yang mengklaim demokratis, maka pemilu adalah prasyarat utama yang harus dilalui, sehingga pemilihan umum salah satu indikator untuk melihat relevansi antara konsep demokrasi normatif dan konsep demokrasi emprik seperti yang telah disebutkan diatas. Pemilihan umum atau juga dikenal sebagai sirkulasi dan kompetisi pergantian kekuasaan merupakan moment penting bagi seluruh masyarakat untuk ikutserta dan mengambil bagian dari proses tersebut, sehingga masyarakat sebagai pemegang kedaulatan dapat menentukan dan merumuskan kepentinganya melalui proses tersebut.

Indonesia sebagai salah satu negara yang mengadopsi sistem demokrasi, pasca reformasi pada tahun 1998 juga melakukan perubahan-perubahan yang cukup signifikan disektor politik, dan salah satu tuntutan reformasi tersebut adalah diselenggarakan pemilihan secara langsung, baik pemilihan presiden maupun kepala daerah (provinsi dan kabupaten). Pemilihan kepala daerah atau yang dikenal dengan istilah Pilkada, merupakan sebuah teroboson baru dalam sistem politik Inodnesia yang meninggalkan sistem pemilihan perwakilan melalui legislatif. Landasan pemilihan kepala daerah langsung ini mulai dilaksanakan sejak diterbitkanya UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan diderivasi berbagai penjelasan teknis oleh PP No.6 tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan dan Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil kepala Daerah, maka dimulailah babak baru dalam rentang sejarah dinamika lokalisme politik di Indonensia

Pemilihan kepala daerah secara langsung bukan hanya sebagai sarana pendidikan dan pemberdayan politik masyarakat, akan tetapi memberikan harapan baru bagi masyarakat untuk mengenal lebih dekat dan memahami secara baik siapa dan bagaimana kriteria calon pemimpin yang akan dipilihnya, oleh sebab itu konsep pemilihan kepala darah secara langsung tersebut, tidak hanya membuka tabir otoritarianisme melalui demokrasi prosedural, akan tetapi menjadi bagian penting dalam menegakan sistem demokrasi sehigga masyarakat lebih dekat dengan pemimpinnya dan masyarakat memiliki tanggungjawab untuk melakukan kontrol terhadap pemerintahan yang terbentuk

Pemilihan kepala daerah secara langsung sesungguhnya merupakan sebuah respon kritik konstruktif atas pelaksanaan mekanisme demokrasi tidak langsung. Demokrasi tidak langsung sering pula diistilahkan sebagai demokrasi perwakilan. Artinya, disini masyarakat tidak secara langsung mengartikulasikan berbagai kepentingannya kepada agenda kebijakan publik, melainkan mewakilkannya para sejumlah kecil orang tertentu. Sedangkan lembaga-lembaga tempat berkumpulnya orang-orang yang mewakili artikulasi kepentingan masyarakat tersebut, disebut sebagai dewan perwakilan rakyat (DPR).

Dalam konteks pilkada, demokrasi perwakilan atau demokrasi tak langsung menekankan pada peran lembaga legislatif yang memiliki kewenangan untuk menentukan kepala daerah, sebab anggapan proses demokrasi tak langsung bahwa anggota legislatif yang dipilih secara demokrasi merupakan repersentasi dari rakyat yang memilih, sehingga siapapun yang dipilih oleh anggota legislatif dianggap sebagai pilihan rakyat. Akan tetapi dalam pelaksanaannya ternyata sering tak sejalan dengan apa yang ada dalam konstruksi logis tersebut. Banyak kepala daerah yang direkrut melalui demokrasi tak langsung tersebut, ternyata bermasalah dan menyakiti banyak hati masyarakat (Ahmad Nadir; 2005 hal; 16-17).

Kondisi tersebut diatas (orde baru), merupakan salah satu pemicu untuk melakukan pergantian mekanisme pemilihan, yaitu dari demokrasi tak langsung menjadi demokrasi langsung, dimana pemilihan kepala daerah tidak diserahkan sepenuhnya kepada segelinitr orang di legislatif melainkan dipilih langsung rakyat secara menyeluruh sebagai pemegang otoritas kedaulatan dengan harapan agar kepala daerah yang terpilih sesuai dengan aspirasi dan keinginan rakyat banyak sehingga meminimalisir terjadinya sakit hati rakyat.

Sebagai proses dari transformasi politik, maka Pilkada selain merupakan bagian dari penataan struktur kekuasaan makro agar lebih menjamin berfungsinya mekanisme cheks and balances diantara lembaga-lebaga politik dari tigkat pusat sampai daerah, masyarakat mengharapkan agar Pilkada dapat menghasilkan kepala daerah yang lebih akuntabel, berkualitas, lejitimit, aspiratif, dan peka terhadap kepentingan masyarakat. Oleh sebab itu pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah yang dilakukan secara langsung merupakan metode yang terintegrasi dengan sistem demokrasi langsung, dimana masyarakat sebagai pemegang kedaulatan dapat mengakses (kontrol, pengawasan, kritik, saran, evaluasi dan presure) terhadap pemerintah terpilih yang diberikan mandat oleh masyarakat melalui pemilihan langsung tersebut. Kondisi ini jelas berbeda dengan pemilihan yang menggunakan mekanisme repersentatif melalui lembaga legislative (atau dikenal dengan demokrasi tak langsung) ketika rezim orde baru berkuasa, dimana masyarakat sedikit memiliki kesempatan untuk terlibat menentukan kriteria dan sosok pemimpin, serta ada kencenderungan masyarakat berada dalam kendali partai politik, sebab mereka-lah yang memiliki kewenangan untuk mengangkat dan menentukan siapa kandidat pemimpin yang sesuai dengan aspirasi partai dan di lembaga legislatif terjadi “jual-beli kucing dalam karung”. Kelemahan lain proses pilkada pada era Orde Baru adalah tidak adanya proses yang kompetisi yang fair serta terjadinya pemaksaan kehendak masyarakat oleh rezim yang berkusa dengan melakukan intervensi dilembaga legislatif, karena memang saat itu rezim yang berkauasa ditopang oleh tiga pilar kekuatan utama; ABRI, Biorkrasi dan Golkar.

Partai Politik dalam Pilkada

Bahwa partai politik dianggap sebagai salah satu atribut negara demokrasi modern, serta sangat diperlukan kehadiranya dalam masyarakat negera-negara yang berdaulat, tidak seorang-pun yang bisa membatah dan menolaknya. Partai politik merupakaan salah satu prasyarat bagi negara-negara yang merdeka dan berdaulat, tidak saja sebagai salah satu sarana untuk menyalurkan aspirasi rakyat kepada pemerintah, akan tetapi partai politik ikut terlibat dalam proses penyelenggaraan negara melalui wakil-wakil yang duduk dalam berbagai lembaga negara yang ada. Oleh sebab itu banyak kalangan ilmuwan mengatakan bahwa partai politik sering dikatakan sebagai organisasi perjuangan, tempat seseorang atau kelompok mencari dan memperjuangkan kedudukan politik dalam suatu negara. Kendatipun bentuk perjuangan yang dilakukan oleh setiap partai politik berbeda-beda dalam rangka menguasai politik suatu pemerintahan tidak harus menggunakan kekerasan ataupun kekuatan fisik. Tetapi satu hal yang disa dicatat bahwa berbagai konflik dan persaingan, baik internal partai maupun antara partai, senantiasa terjadi dan seakan-akan sudah melembaga dalam partai politik pada umumnya.

Menurut Edmun Burke, seorang negarawan Inggris mengemukakan bahwa yang disebut partai politik ialah”.. a group of men who had agreed upon a principle by which the national interst might be served.” Dikatakan bahwa partai politik tidaklain merupakan sekelompok manusia yang secara bersama-sama menyetujui prinsip-prinsip tertentu untuk mengabdi dan melindungi kepentingan nasional.

Sedangkan menurut Epstein, bahwa partai politik menunjuk pada suatu kelompok pengejar kedudukan pemerintahan, yang secara bersama-sama terikat pada identitas ataupun label yang dimilikinya. Suatu identitas, nama, ataupun label partai politik, paling tidak bisa menunjukan karakteristik parpol tersebut, baik yang menyangkut besarnya, tingkat integritasnya, ataupun jumlah angota pendukungnya. (Cheppy Haricahyono; 1986, hal;216-221)

Sedangkan Miriam Budiarjo dalam bukunya Dasar-Dasar Ilmu Politik mengemukakan, bahwa partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama, dimana tujuan-tujuan kelompok tersebut adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik untuk melaksanakan kebijakasanaan-kebijakasanaan mereka yang dilakukan secara konstitusional (Miriam B…..)

Dalam konteks pemilihan umum maupun pemilihan kepada daerah di Indonesia, maka dalam konstitusi kita mengatur dan menjelaskan tentang partai politik tersebut, seperti yang tecantum dalam UU No.31 tahun 2003 tentang Partai politik dan UU No.12 tahun 2003 tentang pemilu. Dalam UU tersebut dijelaskan bahwa partai politik adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik Indoneisa secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara melalui pemilihan umum (UU No.31/2003; pasal 1)

Sebagai suatu organsasi politik yang memiliki orientasi dan tujuan politik, maka partai politik memiliki fungsi sebagai sarana;

a) Pendidikan politik bagi anggotanya dan masyarakat luas agar menjadi warga negara yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara;

b) Agregasi kepentingan; Penciptaan iklim yang kondusif serta sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa untuk mensejahterahkan masyarakat; (

c) Artikulasi; Penyerap, penghimpun dan penyalur aspirasi politik masyarakat secara konstitusional dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara

d) Partisipasi politik warga negara

e) Rekruitmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan jender (UU No.31/2003; pasal 7)

Sebagai instrument demokrasi, partai politik secara idiil seharusnya melaksanakan fungsi-fungsi tersebut, sehingga demokrasi sebagai suatu paham (isme) maupun sebagai metode dapat memberikan kontribusi positif bagi masyarakat suatu negara. Dari fungsi-fungsi yang dimiliki tersebut, dalam mekanisme demokrasi langsung dengan metode pilkada langsung partai politik berada dalam posisi yang sedikit berbeda ketika penerapan demokrasi tak langsung, dimana demokrasi langsung memberikan peluang dan kesempatan terbuka bagi masyarakat untuk menentukan kepala daerah daerahnya sesuai dengan keinginannya. Namun keinginan dan aspirasi masyarakat tersebut tetap menggunakan partai politik sebagai “kendaraan”politik untuk mengajukan calon kepala daerah tersebut, sehingga dalam konteks ini partai politik harus berkompetisi untuk mencari, men-seleksi dan menentukan kandidat yang sesuai dengan aspirasi masyarakat, dan tidak menutup kemungkinan kandidat tersebut berasal dari luar partai politik. Artinya ada kompetisi yang terbuka; baik harapan masyarakat sebagai pemilih maupun partai politik sebagai organisasi “pencari” kekusaan”.

Pilkada langsung melalui mekanisme demokrasi langsung ini bukan berarti tidak memiliki kelemahan dan persoalan, sejak diselenggarakan pilkada langsung untuk memilih kepala daerah sepanjang tahun 2005, pilkada sesungguhnya menampilkan dua kondisi yang sama sekali berbeda. Kondisi pertama menunjukan sisi gelap dari pelakasanaan pilkada, dimana di mata masyarakat hanya dijadikan ajang perebutan kekuasaan oleh segelintir elite partai politik untuk mendapatkan kekuasaan dilembaga eksekutif daerah. Partai politik yang seharusnya sekedar instrumen yang menyajikan calon yang paling baik bagi masyarakat, cenderung lebih mementingkan calon-calon yang loyal kepada atasan dari ada calon diluar partai politik yang mungkin dianggap masyarakat lebih berkualitas dan pantas menjadi kepala daerah. Penguasaan partai-partai tehadap kepala daerah nampaknya akan dijadikan target atau pemanasan bagi pertarungan politik pada pemilu 2009, baik pada pemilihan legislatif maupun presiden.

Kondisi kedua, bahwa pilkada memberikan secercah harapan bagi perkembangan demokrasi ke depan. Sikap optimis tersebut cukup beralasan, mengingat bagi suatu bangsa yang telah sekian lama dalam cengkeraman kekuasaan yang sangat otoritarian dan kemudian berhasil melepaskan diri dari dominasi sistem tersebut, namun terancam oleh berabagi kerusuhan karena penyelahgunaan sentiment primodial oleh beberapa kalangan untuk mencapai tujuan sempit.

Kedua kondisi tersebut diatas tentu saja tidak lepas dari peran partai politik dalam menjalankan fungsinya, dimana dalam upaya merebut kekuasaan pada suatu daerah, partai politik menggunakan cara dan strategi yang berbeda-beda dan atau bahkan ada yang menggunakan cara dan metode yang sama untuk memenangkan suatu proses pemilihan kepala daerah. Penentuan cara dan strategi tersebut tentu saja tidak menafikan terjadi persaingan yang tidak sehat atau tidak fair antar parpol tersebut, sehingga menimbulkan “gesekan” politik yang berdampak pada mobilisasi loyalitas kader-kader partai untuk membela partainya, yang terjadi adalah adanya “pertarungan’ terbuka antara pendukung partai akibat isu-isu primodial yang dimunculkan oleh kandidat maupun oleh pengurus partai yang cenderung show force tanpa mempertimbagkan etika dan nilai-nilai demokrasi itu sendiri.

D.2.2. Ruang Lingkup dan Strategi Memenangkan Pilkada

Sebagai sebuah proses yang sarat dengan nilia-nilai kompetisi, pemilihan kepala daerah merupakan bagian dari pertarungan politik dalam konteks demokasi, maka partai politik yang ikut terlibat dalam proses tersebut dituntut memiliki kesiapan dan satrategi yang mumpuni agar memenangkan pertarungan tersebut. Ruang lingkup strategi tersebut tentu saja dipersiapkan sedini mungkin oleh suatu partai politik, sehingga pertarungan tersebut dapat diperkirakan atau diramalkan; apakah layak atau tidak untuk terlibat dan ambil bagian dari proses tersebut atau tidak. Artinya kesiapan tersebut juga sebagai landasan bagi suatu partai untuk mencalonkan kandidatnya dalam pilkada tersebut. Oleh sebab itu wajib bagi setiap partai politik untuk mengetahui mekanisme dan sistem dalam pilikada. Dalam pilkada langsung mempunyai bagian-bagian yang merupakan sistem sekunder (secondary system) atau sub-sub sistem. Bagian bagian tersebut adalah electorial regulation, electorial process, dan electorial law enforcement.

Pertama, electoral regulatiaon adalah segala ketentuan atau aturan mengenai proses pilkada tersebut yang berlaku, bersifat mengikat dan menjadi pedoman bagi penyelenggara, calon, dan pemilih dalam menjalankan peran dan fungsi masing-masing. Kedua, electoral process dimaksudkan seluruh kegiatan yang terkait secara langsung dengan pilkada langsung dengan pilkada yang merujuk pada ketentuan perundang-undang-an baik yang bersifat legal maupun teknikal. Ketiga, electoral law enforcement yaitu penegakan hukum yang terdapat dalam aturan-aturan pilkada tersebut, baik politis, administratif, maupun pidana.

Ketiga bagian dari sistem pilkada tersebut selain menentukan sejauh mana kapasitas sistem dapat menjembatani pencapaian tujuan dari proses awal yaitu terlaksanaka pemilihan kepala daerah yang demokratis, juga menjadi acaun bagi para kontestan pilkada dalam menyiapkan strateginya, serta dapat dijadikan metode untuk mengukur kesiapan dan peran serta partai politik dalam pemilihan kepala daerah.

Electoral regulation yang menekakan pada prosedur dan tata cara dalam pilkada, maka mewajibkan kepada setiap kontestan pilkada untuk melalui tahapan-tahapan kegiatan pilkada langsung, antaralain;

a) Pendaftaran pemilih

b) Pendaftaran calon

c) Penetapan calon

d) Kampanye

e) Pemungutan suara dan perhitungan suara

f) Penetapan calon terpilih

Enam tahapan tersebut diatas merupakan bagian dari mekanisme prosedur, dimana secara teknis parameter mekanisme, prosedur dan tata cara dalam system adalah yang terukur (measurable). Ben Reilly mengonstatasikan 3 ukuran tersebuit yang menurutnya juga komplementer dan tak dapat dipisah-pisahkan. Ketiganya adalah 1). System pemilihan menerjemahkan jumlah suara yang diperoleh dalam pemoilihan menjadi kursi;2) Sietm pemilihan bertindak sebagai wahana penghubung yang memungkinkan rakyat dapat menagih tanggungjawab pemimpin yang telah mereka pilih;3) Sistem pemilihan memberi dorongan terhadap pihak-pihak yang saling bersaingan pengaruh supaya melakukan dengan cara-cara yang tidak sama. Namun demikian untuk memperoleh hasil pilkada langsung yang demokratis, proses yang dilalui-pun musti demokratis pula, yang di dalamnya mengandung aspek keadilan, keterbukaan, dan kejujuran.

Dalam prose pilkada langsung tersebut, partai politik jelas memiliki kepentingan besar untuk menjadikan calonya terpilih, sehingga berbagai upaya dan strategi dimainkan oleh partai, sebab secara teoritis strategi merupakan upaya pemilihan metode/cara kerja dan perangkat kerja yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok guna mencapai tujuan. Biasanya strategi ini diawali dengan merumuskan berbagai hasil pengamatan dan pengalaman yang kemudian diformulasi secara kontekstual agar dapat menciptakan solusi yang relative baik dalam menyelesaikan masalah dan atau mencapai tujuan. Bagi partai politik strategi dimaknai sebagai upaya merancang cara dan sistem kerja serta penentuan perangkat kerja yang dianggap mampu bekerja secara maksimal dalam rangka memobilisasi kekuatan guna mencapai tujuan yaitu memenangkan calon kepala daerah yang diajukannya.

Strategi politik tersebut dapat dipetakan dalam dua bagian. Pertama strategi internal, merupakan upaya yang dilakukan oleh internal organisasi partai politik dalam mengkoordinasi, mengkonsolidasi, mengevaluasi serta memonitoring kekuatan riil partai. Koordinasi berkaitan dengan upaya penyatuan persepsi tentang pilihan strategi politik yang akan digunakan, sedangkan konsolidasi merupakan upaya penyatuan visi dan misi organisasi sehingga tidak menimbulkan polarisasi dan perpecahan. Konsolidasi juga merupakan mekanisme untuk memetakan kekuatan internal dan eksternal partai.

Evaluasi biasa dilakukan untuk mengetahui hasil capaian kerja organsasi selama kurun waktu tertentu dalam rangka penguasaan terhadap mobilisasi pengaruh dan kekusaan. Evaluasi ini dalam rangka untuk mengetahui apakah perlu adanya pergantian strategei dalam menjalankan kerja-kerja perangkat politik. Sedangkan monitoring adalah upaya pengawasan internal partai politik terhadap kerja-keraja perangkat kerja partai apakah masih sesuai dengan visi-misi oragnisasi atau tidak serta untuk mengetahui sejauh mana konsistensi dan efektifitas kerja perangkat politik suatu partai.

Kedua, startegi eksternal merupakan upaya partai politik dalam membentuk sistem dan cara kerja mesin partai yang berkaitan dengan penguatan jejaring-jejaring kekuatan dan kekuasaan terhadap upaya melakukan mobilisasi pengaruh dan dukungan, baik dukungan masyarakat sebagai konstituen maupun dukungan partai dan organisasi lain, serta person-person yang memberikan pengaruh untuk memenangkan pertarungan politik melalui pilkada langsung tersebut. Dalam partai politik untuk meperkuat kerja-kerja politk, maka dibentuklah perangka kerja politik yang disebut dengan tim sukses, baik yang bersifat single fighter team sucsees maupun yang koalisi partai.

Kedua strategi partai politik yang telah diuraiakan diatas, pada dasarnya bekerja berdasarkan kemampuan organisasi partai serta mengikuti kaedah-kaedah demokrasi procedural, yang walaupun pada kenyataannya kita semua sadar dan bahkan paham, bahwa ada partai politik yang “menghalalkan segala cara” untuk memenangkan suatu pertarungan, dan jelas-jelas itu keluar dari kaeadah-kaedah demokrasi, misalnya dengan menggunakan strategi money politik, pemaksaan kehendak, intimidasi dll Cara kerja perangkat kerja partai juga inklud dengan tahapan-tahapan prosedural dalam pemilu tersebut diatas (enam tahapan). Misalnya pada tahap pendaftaran pemilih, suatu partaia politik tentunya sudah mempersiapkan perangkat kerja untuk ambil bagain dari proses ini, dan demikian juga pada tahapan-tahapn lainnya, sehingga setiap tahapan yang dilalui, suatu partai politik dapat mengevaluasi dan memetakan kembali seberapa besar kekuatan riil yang dimilikinya serta agar secara cepat menentukan strategi lain untuk memperoleh dukungan politik

Dalam proses pilkada langsung, menurut saya tidak ada jaminan bahwa suatu partai politik yang memiliki nama besar akan pasti menang dalam proses tersebut, dan bahkan bisa terjadi sebaliknya, sebab mekanisme pemilihan langsung secara tidak langsun maupun lansgung mensyratkan bagi setiap partai kontestan pilkada untuk mencari figure-figur calon kepala daerah yang memiliki pengaruh baik secara social, politik, dan ekonomi dimasyarakat, sehingga saat ini banyak partai politik yang melakukan rekrutment calaon kepala daerah mauapun wakil kepala daerah dari kalangan non partai. Selain menggunakan strategi tersebut diatas, hal yang juga sanbat mendukung adalah keberdaan tim sukses, sebab tim sukes adalah mesin politik yang riil dalam menjalankan strategi politik. Dalam bukunya yang berjudul sembilan kunci sukses tim sukses dalam pilkada langsung, Ahmad Herry SE, mengatakan bahwa pasangan calon kepala daerah, yang diajukan oleh satu partai politik maupun koalisi partai, maka harus memiliki tim sukses, dan tim sukses tersebut agar maksimal dalam melakukna kerja-kerajnya, maka ia harus melakukan sembilan hal;

1) Bercermin pada hasil analisi SWOT dan penuhi kreteria sntadar seorang pemimpin

2) Mennawarakn visi, misi, strategi, kebijakan danprogram kerja yang sederhan dan menyentuh kepentingan mamsyarakat “akar rumput”. Unutk mensukseskan hal itu kepala daerah dan wakil kepala daerah hahrus berpola piker dan berperilaku sebagaiman chief executve officers (CEOs) pada perusahan holding company.

3) Memahami dan mematuhi semua aturan main yang ditetapkan oleh KPUD. Termasuk jdawal, tahapan, danjenis-jenis formulir.

4) Menetapkan bentuk organisasi Tim Sukese yang efektif dan efisien ditngkat kebuapten/kota danprovinbsi sehingga ke tingkat TPS. Memilih prsonalia yang professional dan berpengalaman, memiliki integritas, komitmen dan solidaritas sebagai anggota Tim Sukses;

5) Menrepakan manajemen keuangan yang transparan dan akuntabel, sebelum, pada saat dan sesuadh masa kampenye. Memahami secara rinsi aturan mengenai sumbangan dan dana kampanye serta audit dana kampanye

6) Menjalankan soft dan hard campaign yang efektif dan efisien. Pahami karakteristik pemilih dan lakukan komunikasi sambung rasa

7) Secara khusus membentuk kelompok Pendukung tingkat kecamatan (KPVC), kelompok Pendukung tingkat Desa/Kelurahan (KPD/L) dan Kelompok Pendukung unutk tiap TPS (KP-TPS);

8) Menguasai secara detail mekanisme pendaftaran, pemutakhiran data, dan persyaratan pemilih yang berhak menggunakan hak pilihnya di tempat pemungutan suara (TPS);

9) Setiap anggota Tim Sukses di tingkat provinsi/kabupaten/kota dan KPC, KPD/L, KP-TPS memahamin prosedur perhitungan suara dan rakapitulasi hasil perhitungan suara disemua tingkatan termasuk pengisian formulir-formuli model C, D, DA, DB dan DC yang dilakukan oleh KPPS, PPS, PPK, KPUD (Achmad Herry, SE.; 2005, hal; 15-16).

Kesembilan poin tersebut diatas semuanya signifikan dan sama pentingnya, sebab kesembilan point tersebut merupakan bagian dari strategi yang terintegrasi dalam suatu sistem kerja politik, baik secara procedural maupun non prosedural. Yang menjadi persoalan kemudian, apakah pemilihan strategi oleh suatu partai politik secara sistematis memberikan jaminan politik bahwa suatu pasangan calon kepala daerah berhasil memenangkan pertarungan politik. Persoalan ini kemudian perlu dan terus harus dikaji dan dikroseck dengan kondisi di lapangan yang dialami oleh suatu partai politik.

Tidak ada komentar: