Kamis, 17 Januari 2008


DeM0kRaZy....???!!!!
Pelimpahan kewenangangan dari pusat ke daerah yang ditandai dengan bergulirnya otonomi daerah ternyata tidak selalu membawa angin segar bagi perkembangan demokratisasi. Sejarah menoreh perjalanan ini masih menuai kontroversi, mulai dari ketimpangan regulasi yang mengatur hingga menjamurnya para raja-raja baru di daerah.

Setidaknya konflik yang terjadi dibeberapa daerah akhir-akhir ini menjadi pembelajaran untuk kembali melirik lebih jauh proses pejalanan demokrasi di aras lokal. Harus dicermati, bahwa ini adalah impact dari salah satu konsekuensi demokratisasi yang oleh UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mensyaratkan diselenggarakannnya pemilihan kepala daerah secara langsung (Pilkada).

Dari beberapa kasus penyelenggaraan pilkada setidaknya ada tiga faktor yang mendasari, pertama ketidaksiapan masyarakat dalam menhadapi proses Pilkada. Secara kultur masyarakat kita masih kental dengan budaya gotong-royong, musyawarah dan mufakat dalam setiap aspek kehidupan sosial masyarakat. Bahkan dalam satu daerahpun beragam cara, berdasarkan etnis dan adat istiadat yang berlaku. Maka bisa dipastikan ketika model "baru" yang dinamakan demokrasi mulai mengartikulasikan kepentingan-kepentingan setiap indivisu dalam masyarakat. Secara perlahan pula pergeseran budaya akibat penyelenggaraan model "baru" ini mulai terasa, maka konflik interest ketika penyelenggaraan Pilkada semakin meruncing. Konflik horizontal dalam proses Pilkada kerap kali berakhir dengan kerusuhan dan pengrusakan masal yang justru merugikan masyarakat itu sendiri. Hal inilah yang acap kali kita jumpai dalam setiap penyelenggaraan Pilkada, para elite lokal memainkan peran sebagai aktor yang seolah mampu menjadi "malaikat" atas ketidakpuasan pelayanan pemerintah dan kesejahteraan masyarakat.

Dalam hal ini regulasi yang mengatur gawe demokrasi lokal belum menyentuh hingga bagaimana menyelamatkan nilai-nilai lokal yang sudah ada untuk tetap dipertahankan sebagai local wisdom, sehingga kepentingan individu dan golongan dalam sebuah masyarakat tidak harus larut dalam konflik kepentingan elite bahkan partai politik.

Kedua, proses demokratisasi lokal tidak murah (high cost democrasi). Regulasi UU 32 Tahun 2004 telah menghantarkan para pemimpin kepala daerah pada puncak egoisme kepentingan. Kekalahan dalam pentas Pilkada kerap kali menjadi pemicu mobilisasi massa meluapkan ketidakpuasan, hingga melakukan tindakan-tindakan anarkis bahkan mengancam keselamatan jiwa. Setidaknya hal in terjadi pada kasus Pilkada di Tuban Jawa Timur beberapa waktu lalu. Hal ini justru tidak hanya merugikan para aktor-aktor yang berlaga dalam Pilkada, akan tetapi juga milyaran APBD yang harus dibayarkan untuk menyelenggarakan pesta demokrasi lokal tersebut.

Ketiga, kegagalan partai politik dalam proses kaderisasi memainkan peranan penting dalam proses kebuntuan demokratisasi lokal. Dengan demikian walaupun dengan adanya Pilkada, demokrasi ditingkat lokal akan menjadi tidak sempurna. Hal ini diperparah lagi dengan tidak adanya hubungan baik antara partai politik dan civil society. Maka wajar kiranya pertanyaan besar muncul selepas Pilkada, kemanakah arah orientasi demokratisasi lokal?

Tidak ada komentar: