Selasa, 22 Januari 2008

gempa dan masalah

Mustahil Prediksi Gempa dengan Tepat

YOGYA (KR) - Hidup di wilayah rawan bencana termasuk gempa, hendaknya membuat masyarakat memiliki kearifan dan bersahabat dengan gempa. Paling tidak masyarakat perlu memahami bahwa Indonesia yang berada dalam pertemuan 3 lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik yang setiap hari tentu bergesekan dalam arti menimbulkan gempa.

"Jika kita lihat di komputer, akan kita ketahui bahwa setiap hari itu ada gesekan-gesekan yang disebut gempa," tandas Guru Besar UII Prof Sarwidi MSCE PhD kepada wartawan, Kamis (7/6). Hanya tentu saja, kata Sarwidi yang membahas isu gempa bagaimana kuantitas dan kualitas dari gesekan tersebut yang membuat besar kecil dan kedalaman gempa yang berbeda.

Dijelaskan Sarwidi, gempa itu merupakan sesuatu yang kompleks. "Ini karena sumber gempa letaknya di bawah. Datanya untuk saat ini masih sulit, jadi hampir mustahil bisa memprediksi gempa apalagi dengan ketepatan sampai dengan hari bahkan jam," kata Sarwidi. Kalau puluhan tahun atau kira-kira dekade atau abad ini tambah Sarwidi yang juga Pembantu Rektor I UII, itu masih bisa diperkirakan. Meski demikian, lanjutnya, prediksi sampai dengan hari peristiwa, sulit dipercaya.

Masyarakat menurutnya tidak perlu risau dengan pelbagai macam isu yang mengabarkan akan ada gempa besar. "Namanya juga isu, jadi tidak dapat dipertanggungjawabkan," tambahnya. Karena kita berada di daerah gempa maka kita harus bersahabat dengan gempa termasuk menghadapi isu-isu tersebut.

"Secara logika, tenaga baru dihimpun. Jadi menurut saya, kecil kemungkinan terjadi gempa besar. Ibaratnya orang marah, 'kan tidak bisa marah setiap hari," tambah Sarwidi.

Menyinggung soal air pasang di Pantura dan beberapa waktu di Pantai Selatan, Sarwidi mengajak masyarakat juga lebih bijak melihatnya. "Kalau diperhatikan, air pasang itu sudah berpuluh-puluh kali terjadi dan ada yang tidak ada kaitan dengan tsunami. Kalau saat ini ada seperti terjadi sebelumnya ya fenomena alam yang tidak terkait satu dengan yang lain," kata Sarwidi. Menurutnya, pasang surut air laut tidak selalu terkait dengan tsunami. Bisa saja, tambahnya, kini karena klimatologi. (Fsy)-x.

PELATIHAN WIRAUSAHA KORBAN GEMPA; Memandang Harapan Lewat Modal Usaha
[09-06-2007 04:36]

WAJAH cerah dan senyum yang selalu mengembang tampak pada diri Imam Sibaweh (22) warga Kwasen, Srimartani Piyungan Bantul. Dengan bersemangat ia menceritakan bagaimana ia akan membuka usaha kecil seperti menjual gorengan, roti bakar atau makanan lain, sesuatu yang menurutnya cepat laku. Keuntungan yang didapat akan ditabung, rencananya jika sudah cukup ia akan membuka usaha sablon, ketrampilan yang sudah ia kuasai.

"Pada awal usaha akan sulit dan banyak halangan. Namun saya akan bangkit dan terus mencoba lagi," kata Imam dengan bersemangat. Menurut Imam yang membuatnya yakin adalah selama satu tahun berkawan dengan kursi roda ia mendapatkan motivasi untuk menjalani hidup mandiri. Selama empat hari dari 4-8 Juni 2007 bersama 18 kawan sesama penyandang cacat (penca) korban gempa ia mendapat pelatihan kewirausahaan yang dilakukan Pusat Rehabilitasi Yakkum di Jl Kaliurang Km 13,5 Beji Sleman.

Imam yang merupakan alumni SMSR Kasihan Bantul jurusan Grafis (kini SMKN 3 Kasihan) ini tergabung dalam Kelompok Mulyo Rahayu. Selain mendapat pelatihan kewirausahaan juga mendapatkan bantuan modal bergulir. Hal itulah yang membuatnya bersemangat untuk membuka usaha, meski ia mengakui belum memiliki pengalaman dalam hal dunia usaha. Dengan malu-malu Imam yang lumpuh karena tulang belakangnya patah mengaku ingin menjadi seorang entrepreneur, seseorang yang tidak mudah menyerah. "Kalau saya tidak pernah mencoba maka saya tidak akan bangkit," kata Imam.

Bagi Rita Indriani warga Prambanan Sleman yang juga duduk di kursi roda karena patah kaki, pelatihan kewirausahaan dan pemberian modal bergulir memberikan secercah harapan bagi dirinya maupun keluarganya. Sebelum gempa terjadi suaminya menjadi penjual sayuran segar di Pasar Prambanan, jika tidak laku sayur tersebut kemudian ia masak dan dijual di warung makannya. Akibat gempa otomatis usahanya hancur. Baru beberapa bulan ini ia dan suaminya Alip Mustafa, kembali merintis usaha berjualan sayuran.

"Kami biasa berjualan sayuran mulai dari pukul 23.00 hingga 03.00 dini hari, kami tidak boleh berdiam diri sebagai orangtua," kata Rita yang memiliki 4 anak, 3 di antaranya sudah bersekolah. Dalam sehari ia bersama suaminya mendapat keuntungan Rp 40-50 ribu. Dengan adanya bantuan modal ia dan suaminya berencana menambah jumlah sayuran yang akan ia jual sehingga keuntungan meningkat.

Bagi Suranto (33) warga Kwasen Srimartani Piyungan, membuka usaha adalah suatu keharusan sebagai kepala keluarga. Meski kakinya tak sesempurna dulu karena patah, ia termotivasi untuk menjadi kepala keluarga yang baik. Sebelum gempa ekonomi keluarganya ditopang lewat usaha ternak ayam kampung dan lele.

Namun setelah gempa selain usahanya hancur sampai saat ini ia belum mendapatkan pemasukan. Lewat pelatihan kewirausahaan ia mendapat pelatihan bagaimana menyusun dan mengatur pembukuan keuangan.

"Hampir 7 bulan keluarga kami tinggal di dalam tenda bersama anak kami yang baru berusia 6 bulan dan kelas 4 SD, kondisi kami tidak karuan saat itu," kata Suranto. Sebab itu ia sudah memiliki rencana untuk membuka warung di tempat tinggalnya. Keluarga menjadi motivasi utama dirinya untuk bangkit kembali.

Direktur Pusat Rehabilitasi Yakkum Dr Fonali Lahagu MSc di dampingi Kabid Pemberdayaan Ekonomi Benjamin Salimun mengatakan modal bergulir yang diberikan kepada kelompok III sebesar Rp 38 juta. Yakkum sebelumnya juga memberikan pelatihan dan bantuan modal bagi dua kelompok lainnya. "Kami akan mendampingi mereka selama 6 bulan dari mulai membuka usaha," imbuh Benjamin Salimun. (Agung P)-n.

14 JUNI, GUBERNUR KUMPULKAN BUPATI/WALIKOTA ; Pastikan Data, Segera Cairkan Rekons Sedang-Ringan
[09-06-2007 04:32]

YOGYA (KR) - Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X kembali menegaskan bahwa bantuan rekonstruksi dan rehabilitasi rumah korban gempa yang mengalami rusak sedang dan ringan tetap akan menerima bantuan Rp 4 juta dan Rp 1 juta. Untuk membahas kepastian dan finalisasi hal itu, Kamis (14/6) mendatang Gubernur akan mengundang Bupati/Walikota se-DIY guna membicarakan soal itu. Termasuk mengenai prosedur pencairannya ke masyarakat penerima.

“Iya, saya mau menyelenggarakan rapat koordinasi dengan kabupaten/kota pada 14 Juni besok di sini. Nah, kepastiannya besok di situ, sebab masih ada beberapa masalah yang harus diselesaikan dan disinkronkan. Daftar kan juga belum masuk semua. Padahal saya ingin ada kepastian. Tapi yang jelas harus diusahakan Rp 4 juta perrumah rusak sedang dan Rp 1 juta perrumah rusak ringan,” tegas Gubernur DIY di Kepatihan Yogyakarta, Jumat (8/6).

Mengenai tenggang waktu sampai kapan daftar penerima by name masuk ke propinsi, Sultan minta supaya secepatnya. Sebab uangnya sudah ada, tapi belum seluruh data masuk. Demikian pula untuk korban rumah rusak ringan, kendati relatif tidak banyak masalah menyangkut nominal bantuan, tetapi belum seluruh daftar by name masuk semua. “Itu harus ada kepastian semua. Dengan adanya data pasti, bisa dihitung berapa uang yang harus dikeluarkan. Sebab, prinsip dalam pelaksanaan rekonstruksi dan rehabilitasi rumah korban gempa ini tidak menaikkan anggaran yang sudah diberikan Pemerintah Pusat,” katanya.

Diakui, dengan adanya perubahan data penerima, Pemprop DIY harus kiyak-kiyuk anggaran. “Ya iya. Sekarang coba, kalau semula hanya 37.000 calon penerima, tapi kemudian membengkak menjadi 49.000, begitu pula kalau yang rusak ringan terus mengalami perubahan bagaimana? Lha kan harus ada kepastian. Makanya saya minta data rusak sedang dan ringan begitu sudah masuk langsung dikunci, tidak berubah-ubah lagi. Kalau tidak dikunci, nanti tambah-tambah terus bikin repot, tidak ada kepastian. Padahal di sisi lain uangnya sudah ditentukan dan tidak bisa berubah. Yang nomboki siapa? Pemerintah Pusat jelas tidak mungkin, ya Pemerintah Daerah yang nomboki,” katanya.

Sultan kembali menegaskan bahwa saat ini uangnya sudah ada, begitu juga dengan pengalokasian anggarannya. Seharusnya, begitu data yang masuk kemudian diverifikasi, maka uangnya pun bisa langsung dicairkan. Tetapi kalau data by name tidak masuk-masuk, berarti uangnya juga tidak bisa keluar-keluar.

Selain membahas soal kepastian data by name penerima bantuan rumah rusak sedang dan ringan, pertemuan dengan Bupati/Walikota nanti itu juga untuk membahas mengenai prosedur pencairannya. (San)-

BERITA

Tambah Berita


DATA RUMAH RUSAK SEDANG-RINGAN TELAH DIKUNCI ; Warga Tak Dapat Ajukan Usulan Lagi
[16-04-2007 09:27]

YOGYA (KR) - Data rumah rusak sedang dan ringan akibat gempa bumi 27 Mei lalu telah dikunci, Minggu (15/4) kemarin. Selanjutnya, data by name calon penerima bantuan dana rehabilitasi dan rekonstruksi pasca gempa yang akan diverifikasi diumumkan di kantor Dinas Kimpraswil Kota Yogyakarta, Rabu (18/4) mendatang. ”Sedianya, nama-nama calon penerima bantuan yang akan diverifikasi diumumkan Minggu (15/4). Namun karena data tersebut harus dikroscek terlebih dahulu nama dan alamatnya, sehingga kami baru bisa mengumumkannya Rabu mendatang. Kroscek ini dilakukan supaya tidak ada penerima bantuan yang dobel. Misalnya saja sudah mendapat bantuan pada tahun 2006 lalu namun sekarang juga tercatat. Juga untuk menghindari satu nama tercatat lebih dari satu,” jelas Kepala Dinas Kimpraswil kota Ir Eko Suryo kepada KR, Sabtu (14/4). Ditegaskan, kesempatan bagi warga yang namanya belum tercantum namun sudah mengajukan usulan ke Kecamatan setempat sebelum 15 Maret lalu sudah tertutup. Data yang masuk telah dikunci dan akan segera diverifikasi. Hasil verifikasi sementara akan diumumkan Minggu (22/4) di papan pengumuman Dinas Kimpraswil. ”Sebelumnya kami sudah mengumumkan supaya warga datang ke kantor untuk melihat apakah nama mereka masuk dalam daftar atau tidak. Itu satu-satunya data resmi. Kalau ada yang merasa sudah melapor dan ada tanda buktinya namun namanya belum tercantum dalam daftar, masih bisa disusulkan sebelum 15 April. Dan sekarang usulan sudah ditutup,” jelas Eko Suryo. Seperti dikemukakan sebelumnya, Pemkot akan melakukan verifikasi ulang terhadap nama-nama yang telah masuk tersebut. Tim verifikasi yang terdiri dari fasilitator kelompok (faskel) dan aparat pemerintahan setempat akan mendatangi rumah warga satu per satu guna memastikan rumah tersebut benar-benar masuk kategori rusak sedang/ ringan. (R-4)-f

YOGYA (KR) - Data rumah rusak sedang dan ringan akibat gempa bumi 27 Mei lalu telah dikunci, Minggu (15/4) kemarin. Selanjutnya, data by name calon penerima bantuan dana rehabilitasi dan rekonstruksi pasca gempa yang akan diverifikasi diumumkan di kantor Dinas Kimpraswil Kota Yogyakarta, Rabu (18/4) mendatang.

”Sedianya, nama-nama calon penerima bantuan yang akan diverifikasi diumumkan Minggu (15/4). Namun karena data tersebut harus dikroscek terlebih dahulu nama dan alamatnya, sehingga kami baru bisa mengumumkannya Rabu mendatang. Kroscek ini dilakukan supaya tidak ada penerima bantuan yang dobel. Misalnya saja sudah mendapat bantuan pada tahun 2006 lalu namun sekarang juga tercatat. Juga untuk menghindari satu nama tercatat lebih dari satu,” jelas Kepala Dinas Kimpraswil kota Ir Eko Suryo kepada KR, Sabtu (14/4).

Ditegaskan, kesempatan bagi warga yang namanya belum tercantum namun sudah mengajukan usulan ke Kecamatan setempat sebelum 15 Maret lalu sudah tertutup. Data yang masuk telah dikunci dan akan segera diverifikasi. Hasil verifikasi sementara akan diumumkan Minggu (22/4) di papan pengumuman Dinas Kimpraswil.

”Sebelumnya kami sudah mengumumkan supaya warga datang ke kantor untuk melihat apakah nama mereka masuk dalam daftar atau tidak. Itu satu-satunya data resmi. Kalau ada yang merasa sudah melapor dan ada tanda buktinya namun namanya belum tercantum dalam daftar, masih bisa disusulkan sebelum 15 April. Dan sekarang usulan sudah ditutup,” jelas Eko Suryo.

Seperti dikemukakan sebelumnya, Pemkot akan melakukan verifikasi ulang terhadap nama-nama yang telah masuk tersebut. Tim verifikasi yang terdiri dari fasilitator kelompok (faskel) dan aparat pemerintahan setempat akan mendatangi rumah warga satu per satu guna memastikan rumah tersebut benar-benar masuk kategori rusak sedang/ ringan. (R-4)-f

Rumah Instan Tahan Gempa

Rumah Instan Tahan Gempa
Jum'at, 08 April 2005 | 14:42 WIB


Desain rumah dari Institut Teknologi Surabaya untuk Aceh ini sangat sederhana sehingga mudah dan cepat pembangunannya. Berbahan baku papan kayu, rumah tahan gempa ini bisa langsung ditempati. Agar kuat menahan gempa, tembok batu bata hanya dipakai di kamar mandi, dan struktur menggunakan fondasi umpak.

Prinsip rumah sistem knock-down (bongkar-pasang) ini serba bisa, serbaguna, dan serba cepat. Artinya, siapa pun bisa mengerjakannya tanpa perlu punya keahlian khusus. Dan sistem ini dapat diaplikasikan untuk rumah, kantor, sampai masjid, dan dapat diselesaikan dalam waktu kurang dari sehari dengan bahan dan alat minimal.

Modul Inti RI-A Tipe 36:
Biaya: Rp 14 juta
Waktu pengerjaan: 10 jam sampai satu hari
Tenaga kerja: 4-5 orang



1. Struktur Utama: Rangka kayu sederhana dengan bentang struktur rangka (kuda-kuda) utama sepanjang enam meter.
2. Dapur 1,5 x 2 meter di teras belakang.
3. Ruang utama 6 x 5 meter.
4. Kamar mandi/WC 1,5 x 2 meter
5. Struktur Bawah: Fondasi lajur 35 x 35 x 35 sentimeter untuk fondasi umpak setiap kolom.

Bahan Bangunan:
1. Papan meranti 2 x 20 x 400 senti, 291 lembar
2. Engsel T10, 9 buah
3. Seng gelombang ukuran 210, 36 lembar
4. Seng pelat 10 meter
5. Angkur kolom
6. Paku kayu 14 kilogram
7. Paku seng 2 kilogram
8. Perkakas
9. Bata 1.842 buah
10. Semen 14 sak
11. Kloset jongkok 1 buah
12. Bak mandi fiber 1 buah
13. Keran air 1 buah
14. Rabatan 36 meter persegi untuk lantai

(data dicopy dari Tempo Interkatif)

Jumat, 18 Januari 2008

DINAMIKA POLITIK PEMBARUAN DESA

DINAMIKA POLITIK PEMBARUAN DESA
(Refleksi Kritis Atas Pembaruan Desa 2005)
Oleh Gregorius

Politik pembaruan desa tahun 2005 tidak hanya mengalami involusi demokrasi dan good governance, tetapi juga masih terbatas pada upaya resinasi dan resultante dari politik pembaruan desa, sebagaimana yang terjadi pada tahun sebelumnya, terutama dinamika politik yang terjadi tahun 2004. Semenjak dikeluarkannya UU NO.32/2004 yang menandai arah perubahan dan konjungtur politik pembaruan desa tahun 2004, desa relatif menghadapi persoalan yang bersumber dari orentasi, arah perubahan dan figura kebijakan pemerintah tentang desa.

Orentasi utama politik pembaruan desa sebagaimana diamanatkan UU No.32/2004 adalah untuk memperkuat pelayanan publik di desa. Stagnasi demokrasi dan tatakelola pemerintahan desa yang “tidak jelas dan tak terukur” dipandang menjadi soal pokok mengapa desa terus berkutat pada kemiskinan, keterbelakangan, tidak demokratis, bad gvernance dan sebagainya. Pemerintah pusat sebagaimana tertuang dalam UU No.32/2004, khususnya pada pasal 200[1] (tentang pemerintahan desa dan badan permusyawaratan desa) dan pasal 202 (tentang sekdes yang berasal dari PNS) menghendaki arah perubahan desa ke desa yang dapat menjalankan pelayanan publik secara maksimal. Kritikan pedas yang menandai arah perubahan ini, terutama sekali berkaitan dengan pemberengusan Badan Perwakilan Desa. BPD yang menjadi lokomotif berjalannya demokrasi dan tatakelola pemerintahan desa yang sehat[2] (rural village governance) “dihancurkan” dan digantikan dengan Badan Permusyawaratan Desa (BAMUSDES). Bamusdes sendiri tidak memiliki kekuasaan dan kewenangan untuk mengontrol jalannya pemerintahan desa, sehingga kehadiran Bamusdes lebih mencerminkan logika politik pemerintah untuk mengkoptasi dan memproteksi stabilitas politik di desa.

Logika politik pemerintah yang bekerja dalam ranah memperkuat pelayanan publik tanpa instabilitas politik atau dengan upaya “mengharmoniskan kembali” hubungan antara pemerintah desa dengan lembaga-lembaga politik lainnya di desa[3], justru dilihat masyarakat desa sebagai strategi “negara” (pemerintah supradesa) untuk terus menghegemoni, mengontrol dan mengendalikan loyalitas masyarakat desa terhadap pemerintah. Hal ini sama persis dengan logika politik depolitisasi dan deidologisasi dalam figurasi kebijakan pemerintah Orde Baru terhadap desa yang justru mematikan sendi-sendi dasar demokrasi dan tatakelola pemerintahan desa yang berbasis pada “local wisdom”. Nilai-nilai lokal yang menjadi sendi-sendi dasar demokrasi di aras desa, digantikan dan digembos melalui ekspansi dan masifikasi nilai-nilai kekuasaan negara. Negara menjadi monster (menjamin berlangsungnya penjagaan ketertibaan dan keamanan melalui pos ronda dan polisi tidur) untuk membuat desa terus-menerus tunduk dan setia pada kehendak negara. Resinasi dari wajah kekuasaan negara yang beringas ini hadir dalam bentuk kekuasaan yang tersentral dan terpusat dalam komando kepala desa di level desa. Karenanya, kehadiran UU No.32/2004 dibaca oleh desa dan banyak pengamat, termasuk praktisi yang bergelut di desa sebagai upaya “resentralisasi” dan negaranisasi desa. Perlawanan yang paling gigih terhadap UU No.32/2004 muncul dari aliansi BPD dan anggota BPD yang tersebar di berbagai desa, menolak kehadiran Bamusdes.[4]

Ketika resentralisasi dan negaranisasi desa mendapat perlawanan dari level desa, konstruksi kebijakan pemerintah justru menjadi destruktif dan terkesan membiarkan dinamika politik di desa berjalan sendiri, mengalir bagai air, tanpa disertai trobosan-trobosan yang sangat jelas untuk memperkuat institusionalisasi kehadiran negara di desa melalui pengangkatan PNS yang membantu negara (pusat) mengelola dan memperkuat pelayanan publik di desa. Hingga memasuki penghujung 2005, dan sampai dengan saat ini kesan negara yang membiarkan sekdes dan Bamusdes terpasung dalam logika kebijakan, tanpa implementasi (tidak didukung adanya peraturan pemerintah tentang pembentukan atau pengangkatan Sekdes yang PNS dan Bamusdes), memperkuat alasan histories bahwa pemerintah Republik Indonesia dari dulu sampai dengan saat ini, tidak mendorong perubahan politik di desa ke arah yang semakin baik, malah menjadi pemicu meluasnya malpraktik demokrasi, otonomi dan tatakelola pemerintahan yang buruk di level desa. Kebijakan-kebijakan yang “memeras desa” seperti bantuan keuangan yang disertai persyaratan swadaya tinggi[5] (daya ukur partisipasi), bantuan langsung tunai (BLT) yang melemahkan kemandirian dan kapasitas masyarakat mengelola self governing-nya, bantuan penguatan sarana dan prasarana di daerah pedesaan dan sebagainya, justru menjadi cambuk stagnasi dan involusi demokrasi dan pembaruan desa, menjadi desa yang makmur dan demokratis.
Orentasi (kebutuhan pragmatisme kekuasaan pemerintah pusat), arah perubahan dan figura kebijakan pemerintah yang mengkerdilkan kembali relaksasi politik di desa yang sudah berkembang kian jauh di bawah UU No.22/1999, menjadi titik pokok (vocal point) pembaruan politik yang involutif dan berjalan di tempat sepanjang tahu 2005 lalu.

Agenda dan Pembaruan Politik Desa 2005

Dinamika politik pembaruan desa sepanjang tahun 2005 mencatat record stagnansi dan involusi yang sangat luar biasa. Stagnansi dan involusi tersebut sangat mempengaruhi perkembangan demokrasi dan tatanan pemerintahan yang demokratis di level desa. Kata kunci pengelolaan pemerintahan desa yang demokratis dengan standar-standar prosedural seperti partisipasi, akuntabilitas, transparansi, responsif dan sebagainya, tidak lagi bergaung di tahun 2005. Lenyapnya simptom-simptom tersebut merupakan dampak dari resultante perubahan UU No.22/1999 dengan UU No.32/2004.

Stagnansi dan involusi demokrasi desa, lebih banyak disumbangkan oleh menguatnya peran-peran negara di aras pusat, dengan serangkaian agenda yang pada titik tertentu “akan” menghasilkan arus balik penguasaan negara terhadap desa. Beberapa agenda perubahan yang terjadi sepanjang tahun 2005 dan perlu dibaca sebagai refikasi negara kuat yang dihadirkan dan ditonjolkan UU No.32/2004 adalah sebagai berikut; (1) regulasi dan birokratisasi desa; (2) integrasi politik desa ke dalam negara; (3) harmonisasi hubungan antara lembaga politik desa; (4) struktur kekuasaan pemerintah desa yang monolitik dan konsentrik; (5) institusi desa yang heterogen dengan pluralisme yang terbatas; (6) otonomi desa yang bersandar pada given autonomy (autonomy by state); (7) sistem pemerintahan desa dengan akuntabilitas ke atas; (8) demokrasi desa yang design by state; (9) keuangan desa dengan sistem alokasi anggaran yang belum jelas; (10) relasi desa dengan lembaga lain yang lebih mencerminkan kepentingan fungsional ketimbang kesadaran politik dan; (11) relasi antara struktur keuasaan yang mencerminkan atasan dan bawahan, bukan hubungan patnersip. Untuk jelasnya lihat table berikut.

Tabel Agenda dan pembaruan politik tahun 2005
Agenda
Pembaruan Politik
Preferensi pemerintah
Titik Perubahan
Regulasi dan birokratisasi desa
Sekdes yang berasal dari PNS
Untuk memperkuat pelayanan publik di level desa
Tidak jelas dan tidak terarah, karena peraturan pemerintahnya belum terbit
Integrasi politik desa ke dalam negara
Desa bertanggungjawab kepada Bupati melalui Camat
Memperkuat loyalitas desa terhadap negara
Desa loyal kepada supradesa ketimbang kepada rakyat
Harmonisasi hubungan antar lembaga politik desa
BPD digantikan dengan Bamusdes
Menciptakan dan memelihara stabilitas politik di level desa
Percecokan dan sengketa kepentingan antara pemerintah desa dengan lembaga perwakilan desa berkurang
Struktur kekuasaan desa
Monolitik, sentralistik dan kosentrik
Pengambilan keputusan berjalan lancar
Menghilangkan kontrol BPD terhadap pemerintah desa
Institusi desa
Heterogen dan pluralisme terbatas
Demokrasi desa yang dikendalikan
Desa tunduk pada pemerintahan yang ada di atasnya.
Otonomi desa
Otonomi yang diberikan (given autonomy), bukan otonomi asli (self-autonomy) atau otonomi kontraktual (contractual autonomy)
Masifikasi dekonsentrasi dan kepentingan negara ke desa
Kewenangan desa yag dirumuskan pusat (pasal 2060
Sistem pemerintahan
Heterogen dan pluralisme terbatas
Ketakutan terhadap munculnya otokrasi (raja-raja desa) yang melawan supradesa
Peluang pembentukan desa sesuai dengan ciri khas masing-masing daerah tidak ada
Demokrasi desa
Demokrasi by design-dirancang pemerintah pusat
Mendorong demokrasi tanpa konflik
BPD yang digantikan Bamusdes tapa kekuasaan kontrol pemdes
Keuangan desa
Mengatur dengan jelas keuangan desa dalam pasal 212
Menjamin pembiayaan pembangunan sarana dan prasarana di desa
Peraturan pemerintahnya belum tegas tentang alokasinya (tetapi sekarang sudah dijamin dengan PP/72/2006
Relasi desa dengan lembaga lain
Fungsional dan efektif
Mendorong kerja sama desa dengan lembaga-lembaga lainnya.
Menjamin kerja sama antar desa (pasal 214)
Relasi antara struktur kekuasaan
Supradesa menjadi atasan desa
Menjaga loyalitas desa dan menjamin demokrasi tanpa instabilitas
Desa bertanggungjawab kepada pemerintah supradesa (Kabupaten)

Meneropong Praktik Politik Pembaruan Desa 2005

Konsepsi politik pemerintah yang dituangkan dalam UU No.32/2004, telah menjadi catatan penting dinamika emprikal praktik politik pembaruan desa sepanjang tahun 2005. Pertama, implikasi dari regualasi dan birokrasi terhadap desa melalui kebijakan penataan aparat pelaksana yang bertugas untuk memperkuat pelayanan publik di desa, dalam banyak kasus ditemukan fakta bahwa telah terjadi pertarungan perebutan posisi untuk menjadi sekdes di beberapa desa dengan iming-iming bahwa setelah menjadi sekedes pemerintah kemudian akan mengangkat mereka menjadi PNS. Di beberapa desa di Jawa Tengah juga, banyak sekdes yang menuntut agar segera diangkat menjadi PNS. Bahkan desa-desa di mana masa tugas sekdesnya habis, terpaksa sekdesnya dikosongkan menunggu kejelasan pemerintah pusat untuk mengangkat sekdes menjadi PNS.

Kedua, integrasi politik desa ke dalam negara nampak terlihat di beberapa desa, dimana akuntabilitas pemerintahan tidak lagi dipertanggungjawabkan kepada rakyat, tetapi langsung disampaikan kepada Bupati melalui Camat. Namun perlu diakui bahwa di banyak desa yang ada di DIY dan Jateng, akuntabilitas pemerintah desa masih ditujukan kepada rakyat melalui BPD.

Ketiga, harmonisasi hubungan antara lembaga politik desa yang tercipta melalui pemberengusan kekuasaan kontrol BPD terhadap pemerintah desa, menyebabkan “matinya” semangat demokrasi representatif di level desa. BPD sebagai lokomotif demokrasi desa di banyak desa, khususnya di luar Jawa mengalami metamorfosa, dari BPD yang galak menjadi BPD yang “tumpul” dan lebih banyak diamnya, pasif dan tidak aktif mengontrol pemerintah desa.

Keempat, struktur kekuasaan pemerintah desa yang monolitik dan konsentrik, kembali mendapatkan “ruang” yang leluasa di level desa sejalan dengan kebijakan pemerintah menggantikan BPD dengan Bamusdes. Di banyak desa di luar Jawa (juga beberapa di Jawa), kepala desa kembali tampil sebagai orang yang “maha kuasa” di level desa. Bahkan dalam berbagai kesempatan yang kami temui di lapangan, ada kecendrungan kepala desa untuk melenyapkan BPD yang ada di desa. Kepala desa mulai mengganggap BPD sebagai enemy of the power kepala desa, sehingga mereka antusias dan senang sekali ketika kekuasaan BPD diberengus.

Kelima, kita menyaksikan juga bahwa di banyak daerah, akibat keluarnya UU No.32/2004 telah tercipta institusi desa yang heterogen dengan pluralisme yang terbatas. Artinya, masyarakat lokal diberikan kesempatan untuk membentuk desa sesuai dengan local wisdom mereka, tetapi pemerintah pusat masih memiliki kendali yang kuat untuk merepresi kemungkinan-kemungkinan terjadinya arus balik ke pembentukan desa tradisional atau desa adat. Property right masyarakat atas nilai-nilai lokalnya, tidak lagi mendapat proteksi, sebagaimana dengan UU No.22/1999. Banyak desa yang terpaksa mempertahankan institusi modern yang diwariskan oleh Orde Baru dan terus dipertahankan hingga tahun 2005.

Keenam, kita menyaksikan bahwa otonomi asli di banyak desa telah dihancurkan dan desa-desa di banyak tempat terus bergerak mengikuti otonomi desa yang bersandar pada given autonomy (autonomy by state) atau otonomi yang diberikan negara, dirumuskan dalam pasal-pasal yang dibuat pemerintah pusat. Dampaknya, kreativitas masyarakat terus berkurang dan kapasitasnya dalam menjalankan pemerintahan semakin terbatas. Kreativitas dan kapasitas yang terbatas merupakan dampak dari resentralisasi yang berkembang sejalan dengan dikeluarkannya UU No.32/2004. Dalam kadar yang sama, kita juga melihat bahwa desa-desa telah berkembang menjadi desa yang loyal dan setia kepada pemerintah atasannya, dan tidak lagi tunduk dan patuh pada kepentingan masyarakat. Apalagi demokrasi desa telah dikoptasi oleh negara dengan meruntuhkan wibawa BPD menjadi Bamusdes yang kehadirannya hanya sebagai lembaga “tukang stempel”.

Ketujuh, perlu diakui bahwa perhatian pemerintah terhadap alokasi keuangan ke desa, sedikit demi sedikit mulai meningkat dengan adanya ketentuan tentang perimbangan keuangan antara kabupaten dengan desa. Walau sampai dengan penghujung 2005, kita terus menyaksikan bahwa banyak sekali desa yang sepanjang tahun 2005 merindukan adanya alokasi anggaran yang jelas yang diberikan ke desa. Dengan keluarnya PP/72/2006, menjadikan kerinduan desa tersebut sedikit terobati.

Berdasarkan pengalaman dan praktik empirik agenda dan pembaruan desa 2005 yang lalu, kita sedikitnya bisa membuat peta proyeksi dan predikisi dinamikan pembaruan politik 2006 dan dari situ kita bisa membuat agenda yang tepat untuk mengatasi serangkaian persoalan dan tantangan nyata yang mungkin akan dihadapi.***

[1] Lihat juga pasal 209 yang secara khusus mengatur tentang Badan Permusyawaratan Desa
[2] Ini tercermin dari amanat UU No.22/1999
[3] Ini terjadi karena pemerintah pusat menganggap BPD sebagai lembaga tukang kritik dan pengganggu stabilitas politik di desa
[4] Cara yang paling halus yang dilakukan oleh BPD adalah dengan “tidak mau” merubah dirinya menjadi Bamusdes. Lagipula, di banyak desa seperti di Bantul, Gunung Kidul, dan di Sleman, kepala desa, masyarakat dan perangkat desa, tetap mempertahankan BPD.
[5] Swadaya adalah tolak ukur partisipasi masyarakat dalam pembangunan yang perlu dikritisi mengingat penetrasinya yang kian jauh telah mengurangi beban dan tanggungjawab negara terhadap masyarakat desa, dialihkan menjadi beban dan tanggungjawab masyarakat terhadap desa

PEMBARUAN DESA

PEMBARUAN DESA
DI MASA TRANSISI DEMOKRASI

_____ariefa'id al-flourez___

A. Agenda pembaruan desa
Desa memiliki posisi yang penting dalam dinamika politik Indonesia, sebab dinamika politik yang berkembang dan potensi kekuatan politiknya yang menjadi sumber penopang utama kekuasaan. Pergantian kukuasaan yang berlangsung pada tahun 1965 dilakukan dengan penumpulan perlawanan politik rakyat desa. Desa merupakan basis kekuatan politik yang menyediakan dukungan politik secara masif dalam pertarungan-pertarungan politik. Namun faktanya dalam panggung politik rakyat desa hanya didatangi ketika menjelang pemilu dilaksanakan. Pola kekuasaan yang sentralistik dan pengawasan yang represif terhadap dinamika politik yang ada di desa mengakibatkan rakyat desa mengalami stagnasi prakarsa, dan kehilangan posisi tawar baik terhadap dominasi politik ataupun dalam mobilisasi ekonomi, yang terjadi adalah penumpulan dan penaklukan negara atas desa, bagi pelanggengan dan praktek kekerasan yang terus berlangsung. Implikasi dari praktek politik yang berjalan dengan menempatkan desa dalam taklukan negara, desa ditempatkan menjadi “tailling” kebijakan politik dari kekuatan politik dan ekonomi yang berasal dari luar desa.
Sejarah penaklukan yang panjang ---- terutama ketika rezim orde baru berkuasa --- menimbulkan persoalan mendasar terhadap kemiskinan (bukan hanya secara politik tetapi juga secara ekonomi). Hasrat kekuasaan Orde Baru mengejar pertumbuhan ekonomi dan stabililtas politik telah menciptakan sistem politik yang sentralistik dan otoriter, serta tata ekonomi yang terpusat pada sekelompok orang. Asumsi yang diyakini oleh rejim orde baru dalam menciptakan tatanan yang demikian adalah dengan memusatkan pertumbuhan ekonomi pada sedikit orang maka akan dapat menjamin pertumbuhan ekonomi, dengan demikian diharapkan secara otomatis dapat menciptkan pemerintaan ekonomi disebabkan mekanisme trickle down effect. Dengan asumsi ini maka desa adalah sebuah objek strategis yang dapat menopang tujuan tersebut. Desa dikuasai dan ditaklukkan baik secara politik melalui penumpulan perlawanan dengan represi dan floating mass sebagai mesin stabilitas, maupun dengan ketergantungan ekonomi sebagai mesin pertumbuhan ekonomi dalam praktek green revolution.
Fakta setelah tiga puluh dua tahun kekuasaan, kemiskinan dan stagnasi prakarsa politik berlangsung. Rakyat desa --- sampai dengan pemerintahan desa---- menjadi kehilangan daya tawar dihadapan kekuasaan. Kebijakan ekonominya justru menimbulkan ketimpangan, bukan saja menimbulkan ketergantungan absulut antar kekuatan ekonomi, tetapi juga penindasan struktur sebagai bentuk ketidakadilan ekonomi. Tata politik yang otoriter telah menyebabkan penguasa yang korup dan tidak dapat dikontrol oleh rakyat. Akibatnya yang terjadi adalah penumpulan perlawanan melalui kekerasan, ketidakadilan ekonomi politik serta kemiskinan absolut massa rakyat pedesaan.
Penaklukan desa dengan menjadikan objek kebijakan selama kekuasaan orde baru menyebabkan kondisi mayoritas desa berada dalam keadaan miskin. Fakta kemiskinan, pelanggaran HAM, kerusakan lingkungan, rusaknya tata kelembagaan lokal semuanya terjadi di desa, penumpulan prakarsa politik, dan ketergantungan menjadi deretan permasalahan yang harus dihadapi oleh rakyat.
Berangkat dari kanyataan dan pandangan demikian langkah dan upaya untuk segera melakukan kerja-kerja pembaruan desa berkembang dan menemukan momentumnya. Gagasan tersebut dengan kenyataan dan cita –cita bagi kerja pembaruan kondisi desa yang miskin, tergantung, represif dengan mendorong dan menciptakan momentum kolektif bagi masa depan desa yang adil, makmur, penuh prakarsa, dan demokratis. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka yang harus dilakukan adalah penataan ulang(rekonstruksi) terhadap persoalan yang berkembang di desa. Strategi yang hendak dibangun dalam mendorong realisasi pembaruan desa adalah dengan memperkuat tiga komponen penting (tiga kaki) yakni kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan rakyat secara keseluruhan. Langkah tersebut dimaksudkan untuk mendorong transformasi politik dengan menempatkan desa sebagai centrum dalam kerja pembaruan. Dengan sendirinya kerja pembaruan memerlukan tenaga dan kemampuan yang besar, bukan hanya dari sumber daya saja , tetapi dedikasi dan arah pembaruan mutlak harus dirumuskan untuk memperkuat kerja yang akan kerjakan. Legislatif dimaksudkan untuk memperkuat kapasitas kebijakan yang pro rakyat --- desa--- dan bekerja secara efektif untuk meningkatkan kesadaran politik bagi tumbuhnya prakarsa rakyat desa. Eksekutif didorong untuk melahirkan mesin pelaksana yang bukan menopang kekuasaan, tetapi sungguh-sungguh menjadi penggerak prakarsa. Kesadaran dan prakarsa rakyat harus ditumbuhkan dalam berbagai kelembagaan politik bagi proses tawar menawar politik dan sekaligus memproteksi dari segala kemungkinan kekuatan merugikan.

B. Problem dan tantangan mewujudkan pembaruan desa

Program pembaruan desa telah dilakukan oleh berbagai institusi sejak tahun 1998 berkaitan dengan upaya mendorong transformasi politik bagi tumbuhnya demokratisasi pasca rezim Soeharto dan menemukan momentumnya dengan lahirnya UU No. 22 tahun 1999. Gagasan untuk mendorong pembaruan desa lahir dari kenyataan bahwa rezim orde baru menjalankan mesin kekuasaan melalui penundukan paksa desa. Otoritas politik orde baru mereproduksi sistem kekuasaan yang sentralistik melalui mesin birokratiknya. Cakupan kerja yang luas bukan hanya dari segi wilayah tetapi juga target kerja mengharuskan semua elemen yang peduli terhadap keberdaan desa bekerja dengan melibatkan sebanyak mungkin kalangan yang diharapkan memiliki keprihatinan dan cita-cita yang sama.
Kerja ini secara bertahap memperoleh respon yang positif dari berbagai kalangan. Keterlibatan berbagai pihak, baik perguruan tinggi, politisi (DPRD), pemerintah daerah, dan rakyat desa sendiri menunjukkan semakin luas dukungan dan kebutuhan terhadap agenda pembaruan desa.
Dalam kerja mendorong pembaruan desa, berbagai elemen menghadapi banyak sambutan positif. Bentuk respon positif dari internal desa adalah banyaknya dukungan dari warga desa untuk bersama-sama mendorong pembaruan di masing-masing desa dan bekerja sama untuk mengkampanyekan dan merealisasikan gagasan pembaruan. Bukan hanya di tingkat desa, pemerintah kabupaten juga memberikan banyak dukungan, terutama melalui kerjasama dalam merealisasikan pembaruan desa. Sebagai contoh di di Kabupaten Bantul misalnya, telah dibentuk Komite Pembaruan Desa (KPD) di masing-masing desa yang akan bekerja mendorong pembaruan desa. KPD terdiri dari anggota masyarakat, perangkat desa Badan Perwakilan Desa, untuk merumuskan dan mengawal kerja pembaruan desa. Kerja pembaruan desa di tingkat desa yang dijalankan oleh KPD diharapkan akan menjadi mesin pendorong bagi tumbuhnya prakarsa pembaruan. Prakarsa pembaruan desa adalah langkah kerja yang dirumuskan dan dijalankan oleh masyarakat desa melalui konsolidasi internal desa. Di Kabupaten Bantul juga telah berlangsung satu kursus pembaruan desa yang disebut dengan Sekolah Pembaruan Desa (SPD). Kursus ini diikuti oleh kepala desa, anggota Badan Perwakilan Desa, masyarakat desa yang mendedikasikan kerja politiknya bagi pembaruan desa. Banyak dari warga desa yang berminat menjadi peserta kursus tersebut. Di Kabupaten Sleman gagasan pembaruan desa disambut oleh rakyat dengan antusias. Pembentukan forum komuniskasi Badan Perwakilan Desa segera diikuti oleh kalangan muda dengan membentuk Komite Pemuda Pembaruan Desa. Kerja yang dilakukan lapera telah berkembang dari tingkat lokal (daerah) sampai dengan tingkat nasional dengan pembentukan Asosiasi Badan Perwakilan Desa Kabupaten sampai dengan Asosiasi Badan Perwakilan Desa Seluruh Indonesia (ABPEDSI). Diberbagai daerah, beberapa LSM telah mengambil prakarsa bagi tumbuhnya berbagai lembaga dan organ yang mendorong transformasi politik tingkat desa dengan berbagai prakarsa.
Walaupun gagasan pembaruan desa telah mendapatkan sambutan dan dukungan luas dari berbagai pihak, namun tantangan dan masalah yang dihadapi juga sangat kompleks. Berbagai masalah yang berkembang berkaitan dengan kerja melakukan pembaruan desa antara lain pertama : Pertama, masalah-masalah yang berkaitan dengan membangkitkan dan melembagakan partisipasi warga desa. Tatanan politik yang dibangun oleh orde baru ( terutama melalui UU No. 5 tahun 1979) telah melahirkan pemerintahan sentralistik otoriter sampai pada level desa. Kekuasaan diperuntukan untuk memobilisasi dan menempatkan rakyat desa dalam “rumah kaca” dan mengakibatkan penumpulan prakarsa politik. Pemerintahan sentralistik birokratik seperti ini lebih berorientasi menjalankan perintah atas dengan orientasi menjalankan mesin stabilitas, ketimbang menjadi pelayan bagi tumbuhnya berbagai aspirasi rakyat desa. Tata politik seperti ini telah melakukan penumpulan aspirasi politik dan menjadi sumber perkara utama bagi hilangnya kepercayaan rakyat desa untuk bekerja dalam partisipasi politik pembaruan. Upaya pembaruan desa adalah arus balik dari cara kerja dan orientasi politik rakyat yang berkembang sebelumnya selama tiga puluh dua tahun, dari bergantung menjadi penuh inisiatif, dari merasa bodoh, formalitas menjadi lebih dinamis dan penuh prakarsa. Kerja pembaruan desa telah mendorong sejumlah prakarsa tingkat desa. Selain menumbuhkan prakarsa, masalah lain yang berkembang adalah melembagakan prakarsa itu sendiri. Prakarsa harus dilembagakan agar tumbuhnya prakarsa tersebut memperoleh tempat terhormat dengan sendirinya akan menciptakan kemajuan bagi rakyat desa. Kegagalan dalam melembagakan prakarsa akan menyebabkan ketegangan dan kontra produktif dalam menciptakan pembaruan politik, tumbuhnya berbagai forum
Kedua, tumbuhnya inisiatif dan keterlibatan birokrasi dalam mendorong pembaruan desa. Kerja pembaruan membutuhkan dukungan yang luas, bukan hanya dari aktor yang berkaitan dengan pembaruan itu sendiri, tetapi juga dari kekuatan birokrasi yang memiliki pengaruh dan sumber daya. Kerja pembaruan memerlukan langkah yang menyeluruh dan terpadu dari berbagai kalangan. Dukungan yang terbatas menyebabkan kerja pembaruan desa menjadi lambat, bahkan bisa terbendung. Cakupan wilayah kerja yang luas dan dinamika yang beragam adalah tantangan tersendiri dalam merealisasikan cita-cita tersebut. Dengan demikian dukungan dari aparat negara (state aparatus) menjadi sangat penting sebagai alat yang efektif untuk merealisasikan cita-cita tersebut. Model kekuasaan birokratik sentralistik, menjadikan birokrasi lebih mengakar ke atas, menjadikan mesin ini lebih bekerja untuk mempertahankan kekuasaan dan membangun ketergantungan ketimbang menjadi alat yang efektif bagi tumbuhnya berbagai prakarsa. Dalam banyak hal, birokrasi kekuasaan justru menempatkan sebagai mesin yang melawan agenda pembaruan. Watak kerja yang hanya mengabdi pada petunjuk menjadi persoalan yang juga harus ditransformasi untuk mendukung pembaruan desa. Era baru yang lebih demokratis membutuhkan penyelenggara negara yang mempunyai kemampuan yang tinggi untuk menyerap perkembangan dan dinamika ditingkat lokal yang beragam.
Ketiga, Problem politik dan kebijakan. Dinamika politik diberbagai daerah, baik dalam skala politik lokal/nasional sangat dipengaruhi oleh berbagai kebijakan, termasuk kebijakan yang berkaitan dengan desa. Fakta di berbagai daerah menunjukkan kebijakan pemerintahan daerah memiliki pengaruh yang sangat significant terhadap upaya mendorong pembaruan desa. Di Kabupaten Bantul misalnya, masa jabatan kepala desa yang lima tahun menyebabkan sirkulasi kekuasaan menjadi lambat. Pemilihan perangkat desa, termasuk didalamnya adalah kepala urusan yang dipilih langsung oleh warga desa melahirkan kompetisi yang kuat dan memperbesar ruang partisipasi politik rakyat. Kenyataan menunjukkan orientasi politik dan dukungan kebijakan yang pro rakyat sangat menentukan kualitas kerja pemberdayaan. Watak dan kepentingan kekuasaan yang dituangkan dalam kebijakan politik akan sangat menentukan kualitas atau kecepatan kerja pembaruan. Dengan demikian kerja untuk mempengaruhi dan melakukan transfornasi politik pada level kebijakan menjadi sangat penting. Kerja pembaruan bukan hanya kerja mendorong kesadaran prakarsa di level bawah, tetapi juga menumbuhkan (baca menularkan) prakarsa pada pengambil keputusan. Kerja mempengaruhi parlemen dan kepala daerah menjadi sangat penting untuk menjaga dinamika politik dan arah kera pembaruan yang hendak direalisasikan. Walaupun rezim orde baru telah tumbang enam tahun lalu, namun kenyataan politik menunjukkan bahwa cara pandang dan pengaruh rezim masih banyak tumbuh sampai sekarang. Tidak dapat dipungkiri bahwa kenyataan politik yang berlangsung masih menunjukkan cara pandang lama yang lebih berwatak anti rakyat. Kerja pembaruan desa dengan sendirinya juga menjakup kerja pembaruan kekuasaan. Maksud dari pembaruan kekuasaan adalah mendorong transformasi politik terhadap cara pandang dan cara kerja yang menempatkan rakyat dalam posisi yang terhormat.
Keempat, cakupan kerja yang masih terbatas dengan daya dukung yang juga terbatas. Harus diakui bahwa tidak banyak lembaga atau LSM yang konsen dalam mendorong pembaruan desa sehingga belum menunjukkan hasil yang diharapkan. Keterbatasan kerja tersebut bukan hanya menyangkut tentang kualitas pembaruan, tetapi juga cakupan isu dan orientasi kerja yang tidak terlalu "sexy" oleh sebagian kalangan, sebab berbicara tentang kebnayak orang terjebak dalam streotype "katrok"; kampungan dan ketertinggalan. Hal ini berdampak pada gerak langkah proses pembaruan desa kurang masive

C.1 Dinamika tata pemerintahan
Pasca reformasi politik pada tahun 1998 telah terjadi perubahan cukup penting dalam dinamika politik secara nasional. Salah satu perubahan yang berlangsung dalam formasi atau sistem kekuasaan adalah komitmen MPR untuk melakukan amandemen terhadap UUD 1945. Amandemen terhadap UUD 1945 merupakan langkah serius MPR hasil pemilu 1999 sebagai upaya mendoronng sejumlah pembaruan dalam kehidupan politik, terutama didedikasikan bagi terbitnya kedaulatan politik rakyat yang dibuktikan dengan partisipasi politik yang lebih luas. Perubahan tersebut telah mengubah kedudukan, tugas pokok dan fungsi lembaga-lembaga negara, sekaligus juga telah mengubah tata cara perekrutan orang-orang yang akan duduk dilembaga negara tersebut. Beberapa perubahan yang cukup penting dalam amandemen tersebut antara lain:

(1) Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat melalui proses pemilihan langsung yang diselenggarakan oleh sebuah lembaga independen. Pemilihan langsung ini memiliki implikasi luas, selain mengurangi resiko dalam sistem perwakilan, juga kekuatan partai menjadi tidak terlalu dominan. Pemilihan secara langsung yang mengubah proses yang sebelumnya yakni dipilih oleh MPR menjadi dipilih langsung oleh rakyat. Pemilihan presiden secara langsung juga akan segera diikuti oleh pemilihan kepala daerah secara langsung, dengan demikian akan membuka peluang partisipasi politik yang lebih luas dalam pembentukan kekuasaan. Pemilihan secara langsung merupakan sebuah peluang memunculkan pemimpin yang berakar kuat dalam masyarakat, dengan demikian menumbuhkan harapan baru bagi tumbuhnya kebijakan yang pro rakyat.
(2) Pemilihan presiden secara langsung membawa implikasi kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara dihapuskan. MPR hanya berposisi sebagai forum yang terdiri dari Anggota DPR dan anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Dengan demikian posisi politik presiden menjadi kuat dihadapan MPR. Presiden menjadi lembaga ynag bertanggung jawab langsung kepada rakyat, bukan lagi kepada MPR.
(3) Walaupun posisi presiden kuat , tetapi tetap tidak tak terbatas. Presiden dibatasi oleh perundangan dan untuk menjamin kerja lembaga eksekutif sesuai dengan koridor hukum, maka dibentuklah makamah konstitusi (MK) yang menentukan (menilai) apakah posisi eksekutif (presiden) tetap berada dalam bentuk hukum formal atau telah keluar dari nilai yang telah ditetapkan.
(4), Dihilangkannya utusan daerah dan golongan yang kemudian digantikan dengan kelembagaan baru yang disebut Dewan Perwakilan Daerah (DPD). DPD bertugas untuk mewakili daerah, terutama dalam hal kebijakan yang berkaitan dengan otonomi daerah. Adapun anggota lembaga ini dipilih secara langsung oleh rakyat wakil propinsi yang berjumlah empat orang . Walaupun telah dipilih langsung oleh rakyat, amandemen UUD 45 yang berkaitan dengan DPD dipandang tidak memberikan harapan yang besar bagi keterwakilan daerah. Sebab UUD telah mengkebiri tugas-tugas DPD dengan tidak tempat kepada DPD untuk ikut menyusun Undang-undang. DPD hanya berfungsi mengajukan kebijakan yang berkaitan dengan otonomi daerah, tetapi tidak memiliki otoritas untuk memutuskan.

Perubahan dalam hubungan tata pemerintahan tersebut memiliki peluang besar untuk mempercepat kerja politik yang selama ini telah dilakukan. Beberapa peluang yang membuka ruang partisipasi antara lain :
Pertama, pemilihan presiden secara langsung akan mendorong terciptanya penyelenggaraan pemerintahan yang legitimate. Setiap kepemimpinan politik yang terbentuk benar-benar dipilih oleh rakyat dan diharapkan benar-benar merepresentasikan kekuatan politik rakyat. Posisi dan daya tawar rakyat bukan hanya didominasi oleh partai, tetapi melalui kekuatan politik yang benar-benar pro rakyat. Mekanisme ini juga akan mempermudah rakyat desa memberikan penilaian secara langsung terhadap kepemimpinan yang akan terbentuk. Selain itu pemilihan presiden secara langsung juga akan segera diikuti oleh pemilihan kepala daerah secara langsung. Sistem rekruitmen kepemimpinan secara langsung dan lebih terbuka akan mendorong partisipasi politik rakyat meningkat dan dengan sendirinya daya tawar politik juga akan meningkat.

Kedua, keberadaan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI). Keberadaan MK adalah bentuk nyata dari kedaulatan hukum. Keberadaan MK memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menggugat (mempersoalkan) kebijakan yang telah dibuat oleh politisi apabila bertentangan dengan konstitusi dan kepentingan rakyat. Dengan keberadaan lembaga ini maka gerakan pembaruan desa dapat memanfaatkanya untuk menjamin agar UU yang dikeluarkan oleh lembaga negara dapat menjadi kebijakan yang betul-betul beorientasi pada kepentingan rakyat desa

Ketiga, Keberadaan Dewan Perwakilan Daerah dan mekanisme pemilihanya dilakukan secara langsung. Keberadaan Dewan perwakilan daerah akan membuat daerah mempunyai wakil yang akan memperjuangkan kepentingan daerah. Proses pemilihan anggota DPD yang dipilih secara langsung membuat anggota DPD yang dipilih akan dikenal langsung oleh rakyat. Dengan demikian proses ini akan mengakiibatkan rakyat desa lebih mudah mengenal angota DPD dan akan mempunyai salauran aspirasi yang sesuai dengan kepentingan rakyat desa.
Ketiga hal tersebut masih menjadi sebatas peluang. Untuk mewujudkan peluang tersebut diperlukan prasyarat. Adapun prasyarat tersebut adalah kecerdasan politik rakyat desa dalam berpolitik. Kecerdasan politik rakyat sangat dibutuhkan agar rakyat dapat memanfaatkan peluang yang ada untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Tetapi apabila rakyat belum mampu memilih secara cerdas maka akan memberikan sebuah implikasi yang sebaliknya

C.2.Dinamika politik
Tahun 2004 menjadi momentum politik yang sangat penting dalam bangunan politik Indonesia. Pemilihan presiden secara langsung menjadi momentum politik yang harus dikawal untuk mendapatkan kepemimpinan politik yang legitimate. Kesadaran politik rakyat harus dibangun supaya rakyat tidak mudah tertipu oleh muslihat politik elit. Tahun 2004 menjadi momentum yang tepat untuk mengambil mendorong lahornya kepemimpinan politik yang benar-benar pro rakyat . Mempengaruhi dan melibatkan diri dalam kehidupan politik secara penuh dengan menempatkan massa rakyat sebagai kekuatan politik dominan. Karena itu upaya untuk mengawal proses politik tersebut menjadi langkah penting bagi agenda pembaruan yang hendak dijalankan ke depan.
LAPERA dalam hal ini telah berupaya untuk terlibat dalam upaya mendorong proses pemilu betul-betul dapat melahirkan wakil rakyat yang dapat mewakili kepentingan rakyat. Adapun yang dilakukan lapera adalah bersama-bersama dengan tiga lembaga lain di Yogyakarta yaitu Idea, Parwi, KIPP membentuk sebuah koalisi yang diharapkan dapat mendorong ketewakilan rakyat dalam pemerintahan, terutama dengan memanfaatkan momentum Pemilu, Koalisi tersebut diberi nama Koalisi Keterwakilan Yogyakarta( KKY). Adapun yang dilakukan koalisi ini adalah melakukan pemantauan pembentukan anggota KPUD, mengkritisi kerja KPUD, melakukan pendidikan terhadap calon pemilih (terutama rakyat pedesaan), dan melakukan kerja kontrak Politik antar rakyat desa dan partai politik. LAPERA bekerjasama dengan berbagai lembaga juga melakukan pertemuan rapat konsolidasi Gerakan pro demokrasi di Jogjakarta yang dihadiri oleh lembaga dari berbagai daerah. Selain hal tersebut LAPERA juga melakukan kampanye terhadap proses dalam pemilu presiden dengan mengkampanyekan agar rakyat dapat memililih Presiden yang berasal dari sipil.
Proses politik yang selama tahun 2004 berlangsung melalui tiga tahap. Tahap pertama adalah pemilihan anggota legislatif DPR baik tingkat propinsi, kabupaten maupun pusat yang dilakukan secara serentak. Selain pemilihan Legislatif DPR pada tahap ini juga dilakukan pemilihan anggota DPD untuk pertama kali di Indonesia. Pemilu tahap kedua adalah pemilhan Presiden dan wakil Presiden putaran satu. Dalam pemilu putaran pertama diikuti oleh 5 pasang calon Presiden dan wakil Presiden. Tahap ketiga adalah Pemilhan presiden putaran kedua yang ikuti oleh dua pasang calon Presiden dan wakil Presiden yang merupakan pemenang pertama dan kedua putaran pertama.
Ketiga tahap pemilu tersebut telah menghasilkan permerintahan baru, baik dilevel lokal maupun dilevel nasional. Hasil pemilu selama tahun 2004 telah mengubah peta kekuatan politik di Indonesia. Perubahan peta tersebut dapat dilihat dari hasil pemilihan anggota legislatif yang telah memunculkan golkar sebagai pemenang pemilu dengan perolehan suara sebanyak 22 persen yang mengalahkan PDI-P partai penguasa yang dipimpin oleh Presiden Megawati Soekarno Purtri yang mengalami kemerosotan luar biasa dari 34 persen pada pemilu 1999 menjadi 18 Persen. Selain itu pemilu ini juga telah memunculkan kekuatan politik baru yaitu munculnya Partai Keadilan Sejahtera(PKS) dan Partai Demokrat yang masuk dalam lima besar pemenang pemilu.
Perubahan peta politik secara significan juga dapat dilihat dari proses pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang untuk pertama kali diselenggarakan secara langsung. Golkar sebagai partai pemenang pemilu mencalonkan Jendral Purnawirawan Wiranto sebagai presiden yang dipilih melalui mekanisme konvensi, PDI-P mencalonkan Megawati Soekarnoputri, PAN mencalonkan Ketua MPR Amien Rais, Partai Demokrat mencalonkan Susilo Bambang Yudoyono (SBY) dan PPP mencalonkan Hamza Haz. Hasilnya putaran pertama dimenangkan oleh SBY yang dicalonkan oleh Partai Demokrat yang mendapatkan suara kecil dalam Pemilu dan urutan kedua adalah Presiden Megawati. Putaran kedua yang dilakukan dengan peserta calon Presiden pemenang Pertama dan kedua yakni SBY dan Megawati. Dalam proses pemilu terjadi pengelompokan politik menjadi dua yaitu Pendukung Megewati yang didukung PDIP, GOLKAR dan PPP yang di beri nama dengan koalisi Kebangsaan berhadapan dengan pendukung SBY yang didukung oleh Partai Demokart, PKS, PBB, PKB, PAN. Hasil pemilihan tahap dua dimenangkan oleh SBY dengan suara mutlak yakni 60% lebih.
perubahan politik yang terjadi pada tahun 2004 melalui Pemilu menunjukan bahwa proses politik yang berlangsung setelah reformasi politik 1998 telah membuat rakyat Indonesia memiliki posisi tawar yang meningkat. Kemajuan tersebut dapat dilihat Pertama, Dari sisi penyelenggaraan bangsa Indonesia telah mampu menyelenggarakan Pemilu yang dapat dikatakan lebih adil. Kedua, rakyat Indonesia telah mampu menghargai perbedaan keyakinan dan afialiasi politik masing-masing. Kemampuan rakyat ini dapat dilihat dari proses pemilu yang beralangsung dalam proses panjang dan dapat dilewati rakyat dalam suasana yang damai. Ketiga, Dari sisi kemampuan politik rakyat terlihat kemajuan untuk mengapresiasikan politik secara terbuka. Rakyat Indoenesia tidak dapat dikontrol oleh mesin politik baik mesin politik birokrasi, partai dan mesin politilk trasdisional lain seperti ormas. Kemajuan ini dapat dilihat dari kemenangan SBY yang tidak didukung oleh mesin birokrasi dan Partai politik pemenang pemilu.
Bagaimana dampak perubahan politik ini terhadap upaya untuk mendorong terwujudnya pembaruan desa? Pada pemerintahan yang lalu belum tampak keberpihakan politik dari pemerintahan terhadap desa.. Banyak kebijakan yang dikeluarkan seperti pencabutan subsisidi justru menimbulkan polemik di masyarakat, seperti rivatisasi, , berbagai produk kebijakan agraria, korupsi yang tidak tuntas, pengangguran, dan lain sebagainya. Bahkan pada ujung jabatannya DPR hasil pemilu 1999 mengeluarkan satu produk kebijakan yang kontroversial yang berkaitan dengan desentralisasi yakni UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah.
Pemerintahan baru tentunya telah memberikan harapan baru pada rakyat desa. Apa harapan baru itu dapat terwujud dari pemerintahan baru? Apakah pemerintahan SBY -- Kalla akan benar-benar menyelesaikan agenda-agenda pembaruan yang selama ini dikampanyekan? Ada beberapa hal yang penting untuk dicermati sehibungan dengan pemerintahan baru tersebut. Pertama, pemerintahan dibawah kepemimpinan SBY selalu mengkampanyekan perubahan. Janji perubahan ini tentu saja memberikan harapan pemerintah benar-benar akan melakukan langkah-langkah perubahan mendasar, terutama yang berkaitan dengan nasip mayoritas rakyat yang hidup di desa. Kedua, Perubahan tata politik dan pemerintahan di Indonesia telah membuat Presiden bertanggung jawab langsung kepada rakyat, sehingga Presiden mempunyai legitimasi yang kuat. Legitimasi Presiden yang kuat, membuat presiden dapat terhindar dari proses politik dagang sapi. Ketiga, Proses politik yang berlangsung telah memunculkan dua kekuatan politik yang yaitu yang berkuasa di pemerintahan yaitu kelompok yang menamakan koalisi kerakyatan dan yang menjadi oposisi dengan suara yang sangat significan di parlemen yang menamakan diri koalisi kebangsaan. Perimbangan kekuasaan ini akan memberikan peluang mekanisme check and balances dapat terjadi Keempat, Sebagai konsekwensi Pemilihan Presiden secara langsung maka harus diselenggarakan Pemilihan kepala daerah secara langsung. Pemilihan kepala daerah secara langsung akan memeberikan peluang pengaturan kebijakan ditingakat lokal lebih berorientasi kepada kepentingan rakyat desa.
Selain harapan, Pemerintahan baru dapat menjadi sebuah ancaman bagi upaya mendorong pembaruan desa apabila pemerintahan baru meinggkari janji dan tidak mempunyai kapasitas untuk melakukan kerja-kerja perubahan yang dijanjikan. Oleh karena itu kita masih harus menunggu kinerja dari pemerintahan baru.
Walaupun demikian, hal yang harus diperhatikan bagi upaya untuk mendorong pewujudan pembaruan desa adalah; kebijakan yang berpihak kepada kepentingan rakyat desa tidak akan terwujud bila tidak ada upaya rakyat untuk berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakana. Oleh karena itu meskipun telah terjadi perubahan kekuatan politik di tingkat elite, kebijakan yang berpihak ada rakyat desa tidak akan terealisasi bila rakyat desa tidak terlibat aktif berpartisipasi dalam proses perubahan. Oleh karena itulah kerja-kerja yang serius untuk medorong dan memperkuat partisipasi rakyat secara serius harus tetap menjadi agenda utama.

C. 3 . Dinamika pengaturan kebijakan tentang desa – Bahaya Resentralisasi


Desa mempunyai posisi yang strategis di Indonesia, sebab desa adalah tempat hidup mayoritas rakyat sekaligus penyedia utama bahan baku pangan dan untuk keperluan industri. Tetapi, pada kenyataannya sepanjang sejarah posisi ini tidak membuat desa menjadi kuat, dalam arti dapat berpartisipasi aktif, bila berhadapan dengan kekuatan yang ada diluar desa (Supra desa). Dari posisi ini membawa akibat banyak kekuatan politik dan ekonomi yang berusaha melemahkan desa, guna mengambil keuntungan politik maupun ekonomi. Akibatnya, dalam sejarah pedesaan Indonesia dari masa kerajaan, kolonial, sampai masa kemerdekaan, desa selalu menjadi objek eksploitasi dari kekuatan politik dan ekonomi yang berasal dari luar desa. Puncak dari proses pelemehan desa justru terjadi pada masa kemerdekaan,ketika rejim Orde Baru berkuasa. Berikut ini akan diuraikan dinamika demokrasi desa di Indonesia dimulai dari masa rejim Orde Baru.
a. Masa Orde baru
Masa Orde baru ditandai oleh semangat negara untuk megejar pertumbuhan ekonomi dengan jalan menciptakan kondisi politik yang stabil yang harus dijamin dengan sitem yang otoriter. Dalam sistem ini desa harus dapat dijadikan sebagai objek untuk mencapai tujuan pertumbuhan ekonomi. Semnagat inilah yang meneybabakan rejim Orde Baru melakukan segala macam cara untuk melemahkan desa.
Adapun cara rejim Orde Baru melemahkan desa, adalah dengan membuat sebuah sistem kontrol langsung terhadap desa. Yakni dengan langsung masuk ke dalam desa. Adapun cara Orde Baru melakukan kontrol dengan dua cara, yakni melalui birokrasi dan militer. Cara militer dilakukan dengan memperalat militer dengan memperluas jaringan dan memperbesar peran Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Jaringan militer diperluas dengan membuat jaringan sampai masuk ke daerah pedesaan, melalui penempatan Bintara Pembina Desa (Babinsa). Peran ABRI diperluas dengan tidak hanya mengurusi persoalan pertahanan, tetapi juga mengurusi persoalan keamanan dan sosial-politik. Dengan perluasan tersebut, urusan Babinsa tidak hanya pada persoalan yang berkaitan dengan pertahanan, tetapi juga mengurusi persoalaan sosial dan politik, yakni menjadi pengawas dan Pembina Kepala Desa untuk mengamankan program-program pembangunan Orde Baru.
Sedangkan Kontrol dengan menggunakan birokrasi sebagai alat, dilakukan dengan cara mengeluarkan UU No 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. UU ini telah menempatkan kepemimpinan Kepala Desa yang dipilih secara langsung oleh rakyat, hanya sebagai alat perpanjangan birokrasi dari Pemerintah Pusat. Hal ini disebabkan dalam UU ini Desa diintegrasikan sebagai bagian administrasi Pemerintah Pusat. Desa dijadikan sebagai satu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah dibawah Camat. Selain itu, UU ini juga memberikan kekuatan kepada Kepala Desa sebagai alat dari Pemerintah Pusat melakukan kontrol terhadap rakyat yang ada di desa, dengan menempatkan Kepala Desa sebagai penguasa tunggal dan pusat setiap aktivitas di desa. Dengan melakukan kontrol yang ketat Pemerintah Orde Baru dapat leluasa melakukan mobilisasi sumber daya manusia dan alam desa, guna mengejar pertumbuhan ekonomi.
Dengan membuat rakyat menjadi lemah, Orde Baru telah membuat rakyat terasing dalam proses pengambilan keputusan. Memang, kata partisipasi adalah kata yang sering digunakan oleh Pemerintah Orde Baru, tetapi kata ini mengalami pendangkalan makna. Dalam hal ini, partisipasi hanya dimaknai sebagai keterlibatan rakyat dalam melaksanakan program-program pembangunan pemerintah Orde Baru .
Setelah berjalan tiga puluh tahun, ternyata kebijakan pembangunan desa yang menafikan partisipasi masyarakat, tidak menghasilkan sebuah kondisi kehidupan yang lebih baik, tatapi justru menimbulkan sebuah kondisi yang memprihatinkan masyarakat desa. Kondisi ini berupa pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), rusaknya tata kelembagaan lokal, hancurnya lingkungan hidup dan yang lebih memprihatinkan lagi adalah hilangnya kemampuan desa untuk mandiri. Semua ini disebabkan hancurnya daya inisiatif dan kreativitas rakyat desa, karena berkembangnya budaya menunggu perintah dari atasan.
Kekuasaan sentralistik dan otoriter melahirkan kondisi yang memprihatinkan rakyat. Akibatnya rakyat melakukan perlawanan terhadap penguasa. Bersamaan dengan krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1998, gerakan mahasiswa didukung rakyat muncul menyuarakan agar terjadinya reformasi politik di Indonesia. Akhirnya, gerakan reformasi politik yang dilakukan mahasiswa berhasil menumbangkan Presiden Soeharto yang merupakan tulang punggung rejim Orde Baru. Kejatuhan Soeharto ini telah menjadi awal bagi bergulirnya reformasi politik di Indonesia.

b. Masa transisi
Setelah reformasi politik bergulir, rakyat menuntut dilakukan perubahan terhadap tatanan politik yang dibangun rejim Orde Baru. Pemerintahan masa Presiden B.J. Habibie mengakomodasi tuntutan tersebut dengan melakukan perubahan terhadap mekanisme politik yang diciptakan Orde Baru. Adapun beberapa perubahan yang sangat berpengaruh terhadap masyarakat desa. pertama, dihapusnya DWI fungsi ABRI secara bertahap dan kedua, diberlakukannya UU Otonomi daerah yakni UU No 22 tahun 1999 menggantikan UU No 5 tahun 1979 dan UU No 5 1974.
Dengan dihapuskanya Dwi Fungsi ABRI berakhirlah mekanisme kontrol dari negara. Paradigma militer yang sebelumnya membuat peran Militer –BABINSA – di desa dominan, menjadi tidak sekuat dulu. Peranan Babinsa ditempatkan sebagai unsur pertahanan tidak lagi keamanan dan peran-peran lainya.
Demikian juga dengan digantikanya UU No 5 tahun 1979 dan No 5 tahun 1974 dengan UU No 22 tahun 1999 (UU Otonomi Daerah), telah membuat pemerintah pusat tidak dapat lagi melakukan kontrol yang kuat terhadap kabupaten dan desa. Sebab, di dalam UU ini pemerintahan kabupaten dan kota telah mendapat wewenang yang lebih besar mengatur rumah tangganya sendiri. Dengan demikian banyak wewenang pengaturan desa yang dimiliki oleh pemerintah pusat didelegasikan ke pemerintahan kabupaten. Akibatnya, rakyat desa akan lebih mudah untuk terlibat dalam setiap proses kebijakan yang berkaitan dengan kepentingannya sendiri.
UU ini juga telah memberikan ruang otonomi desa tumbuh dan berkembang, Karena UU ini telah mengakui hak asal-usul desa dan tidak lagi menempatkan desa sebagai wilayah administratif di bawah Kecamatan. Hubungan kewenangan langsung antara desa dengan Kabupaten, dengan memberikan hak pada desa untuk mempunyai posisi tawar dengan kabupaten. Selain itu, Kepala Desa tidak lagi ditempatkan sebagai penguasa tunggal di desa, karena UU baru ini, telah mendorong munculnya sebuah lembaga baru yang berperan sebagai wadah perwakilan warga desa, yaitu Badan Perwakilan Desa (BPD) atau dengan nama yang lain. Anggota BPD ini dipilih langsung oleh warga desa dan posisinya sejajar dengan Kepala Desa.
Keberadaan Badan perwakilan desa (BPD) sebagai lembaga baru berada dalam posisi yang sangat penting untuk menuju desa yang otonom. karena UU ini telah menempatkan BPD menjadi lembaga yang berada pada posisi yang sejajar dengan kepala desa. Dengan demikian kepala desa tidak dapat lagi menjadi penguasa tunggal di desa. Sebagaimana yang dimuat dalam pasal 36 UU No 22 Tahun 1999 yang menyebutkan fungsi BPD adalah:
Mengayomi yaitu menjaga adat istiadat yang hidup dan berkembang di desa yang bersangkutan sepanjang menunjang kelangsungan pembangunan
Legislasi yaitu merumuskan dan menetapakan peraturan desa sersama-sama dengan pemerintah desa
Pengawasan yaitu meliputi pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan desa, anggaran belanja, serta serta keputusan kepala desa .
Menampung aspirasi masyarakat yaitu menangani dan menyalurkan aspirasi yang diterima dari masyarakat kepada pejabat atau insatansi yang berwenang.
  • Dengan demikian keberadaan UU No 22 tahun 1999 telah memberikan peluang yang besar bagi demokratisasi dan partisipasi di internal desa dan antara desa dengan eksternal desa. Keberadaan lembaga BPD sebagai lembaga baru di desa menempati posisi yang sangat penting. Akan tetapi memang perlu disadari bahwa peluang ini tidak dapat segera terwujud, karena kita tidak dapat berharap perubahan kebijakan akan langsung berdampak pada perubahan watak dan kapasitas dari pelaksananya.


    Berikut tabel perbandingan UU No 5 tahun 1979 dan UU No 22 tahun 1999
    mengenai desa:


    Definisi desa
    Nama desa dan penyebutan nama desa
    Pendirian desa baru
    Lembaga-lembaga desa
    Pemerintahan desa
    Kepala desa
    Pemecatan kepala desa
    Aturan-aturan desa
    Anggaran belanja desa
    Dana desa
    Perusahaan milik desa
    Otonomi
    Pelaksanaan dan pengawasan

  • UU No 5 Tahun 1979
    Sebagai kesatuan wilayah
    Harus desa dan Kepala desa diseluruh Indonesia
    Diusulkan oleh kantor kecamatan dan disetujui oleh Bupati
    Lembaga musyawarah desa (LMD) dan Lembaga ketahanan masyarakat desa (LKMD) yang anggotanya ditunjuk lewat kekuasaan kepala desa. Tidak ada lemabaga lain.
    Kepala Desa
    Ditunjuk dan tunduk pada pemerintah kabupaten, dengan masa jabatan maksimum 16 tahun.
    Diusulkan oleh kecamatan disetujui oleh kabupaten
    Disusun olen kepala desa, disetujui oleh kecamatan
    Disusun oleh Kepala desa dan LMD, disetujui oleh kabupaten
    Batuan pemerintah
    Tidak diijinkan
    Tidak ada. Desa sepenuhnya dibawah otoritas kecamatan
    Departemen dalam negeri

  • UU No 22 Tahun 1999
    Sebagai masyarakat hukum
    Pemerintah daerah dapat menyebut nama setempat untuk menyebut desa dan kepala desa
    Di usulkan oleh warga desa, disetujui oleh pemerintah Kabupaten dan DPRD
    Badan Perwakilan desa (BPD) dipilih warga dengan hak dan otonomi yang luas, dan juga lembaga lain yang diraskan perlu didirikan sesuai dengan kepntingan desa.
    Kepala desa dan BPD
    Dipilih oleh warga dan tunduk pada BPD, setelah mendapat persetujuan pemerintah kabupaten, masa jabatahn maksimum 10 tahun
    Diusulkan oleh BPD, disetujui oleh kecamatan
    Disusun dan disetujui oleh BPD bersama dengan kepala desa
    Disusun dan disetujui oleh BPD bersama dengan kepala desa.
    Bantuan pemerintah dan dari sumber-sumber lokal
    Dijinkan
    Desa memiliki hak menolak program pemerintah yang tidak disertai dengan dana, personil atau prasarana, dan desa memiliki hak membuat aturan
    Pemerintah Kabupaten
Dari tabel diatas dapat dilihat keberadaan kebijakan Otonomi daerah telah menempatkan posisi desa telah pada posisi yang lebih otonom. Hal ini tentunya akan membuka peluang bagi desa untuk mempunyai daya tawar terhadap kekuatan yang berada diluar desa, termasiuk dengan pemerintah Kabupaten. Dengan demikian desa akan mempunyai daya tawar dalam proses pembuatan kebijakan ditingkat kabupaten.
Kuatnya posisi desa ini ditambah lagi dengan legitimasi politik dari pemerintahan desa yang kuat. Sebagaimana yang dimuat dalam pasal 95 dan pasal 105 UU No 22 1999, kepala desa dan anggota Badan Perwakilan Desa dipilih secara langsung oleh rakyat desa. Selain itu, tidak adanya campur tangan dari pemerintah luar desa menentukan kepemimpinan politik di desa telah membuka peluang untuk mengubah orientasi pemerintah desa yang pada UU No 5 Tahun 1979 lebih berorientasi pada pemerinah diatasanya menjadi lebih berorientasi pada rakyat desa. Dengan demikian keberadaan UU ini telah memberikab peluang bagi tumbuh dan berkembangny demokrasi di daerah pedesaan.
Perubahan sentralisasi ke desentralisasi, memberi peluang bagi desa untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan kebijakan pemerintahan. Walaupun, desa telah mempunyai peluang untuk berpartisipasi, tidak berarti serta merta partisipasi desa tumbuh dan berkembang. Sebab, perubahan kebijakan tidak berarti perubahan pada orang-orang yang melaksanakan dan orang yang dikenai kebijakan. Apalagi skema top down yang telah berlangsung lama, telah mematikan daya inisiaif dan daya krefitas pemerintah daerah dan masyarakat desa. Sehingga kita masih memerlukan waktu untuk menata pemerintahan desa yang demokratis.
Akan tetapi masalah-masalah yang muncul dalam pelaksanaan UU ini dianggap ditanggapi secara negatif oleh banyak kalangan. Karena itu muncul upaya untuk mengembalikan kondisi sistem politik di desa seperti pada masa era Orde Baru. Maka di akhir pemerintahan Megawati, Saat Bangsa Indonesia telah menikmati demokrasi langsung dalam proses pemilihan presiden DPR RI telah mengesahkan UU yang merevisi UU No 22 tahun 1999.

C. Masa Demokrasi langsung

Problem yang muncul dari pelaksanaan UU No 22 tahun 1999 telah menyebabkan DPR RI melakukan revisi terhadap UU No 22 tahun 1999. Namun revisi yang dibuat dalam proses yang tergesa-gesa dan tidak aspiratif, Ternyata menunjukan pada kecenderungan melemahkan pertumbuhan demokrasi desa, bukan memperkuat demokrasi desa yang yang baru saja tumbuh. Disamping itu proses pembuatan yang tergesa-gesa juga melahirkan peraturan yang tidak jelas dan konsisten.
Adapun pasal-pasal yang dapat dianggap tidak jelas, tidak konsisten dan memperlemah demokrasi desa yang sedang tumbuh dan berkembang adalah sebagai berikut:

Pasal Yang membahas tentang perubahan nama Badan Perwakilan desa menjadi Badan permusyawaratan desa beserta perubahan kedudukan yang tidak lagi setara dengan Kepala desa, tugas pokok dan fungsinya yang tidak lagi berfungsi sebagai pengawas dan tidak lagi dipilih langsung oleh masyarakat desa,tetapi melalui musyawarah tokoh masyarakat desa. Pada masa rejim Orde Baru berkuasa, Kepala desa telah menjadi penguasa tunggal di desa dan merasa lebih bertanggung jawab pada pemerintahan di atas desa dari pada kepada rakyat desa yang memilih. Kondisi politik seperti ini menyebabkan banyak kebijakan lebih mementingkan kepentingan supra desa dari pada kepentingan rakyat desa. Kondisi politik ini juga menyebabkan program-program pembangunan untuk masyarakat desa banyak diselewengkan karena tidak mendapat kontrol yang efektif dari rakyat desa. UU No 22 tahun 1999 telah memberikan harapan baru pada masyarakat desa. Keberadaan Badan Perwakilan Desa (BPD) yang dipilih secara langsung oleh rakyat desa dan berkedudukan sejajar dengan kepala desa yang berfungsi untuk menampung apsirasi, tugas legislasi dan pengawasan terhadap kepala desa telah memberikan ruang yang besar bagi pertumbuhan demokrasi desa. Tugas ini telah membuat rakyat desa mempunyai wakil yang berfungsi menyerap aspirasi, sekaligus melakukan kontrol terhadap pemerintah desa. Memang dalam pelaksanaan banyak masalah yang dihadapi, terutama yang berkaitan dengan hubungan antara pemerintah desa dan BPD dan hubungan rakyat desa dengan keduanya. Persoalan tersebut adalah wajar, apalagi dalam proses transisi. Namun, Perubahan Badan Perwakilan Desa menjadi Badan Permusyawaratan desa telah menyebabkan pemerintah desa akan kembali mempunyai posisi sentral seperti masa Orde Baru. Posisi sentral ini akan memberi ruang yang besar pada kembalinya penguasa yang tidak berpihak pada rakyat desa dan bepeluang besar menyelewengkan program-program untuk warga desa.
Pasal yang menempatkan sekretaris desa berasal dari unsur pegawai negeri. Secara politik kedudukan ini telah membuat sekretaris desa mempunyai loyalitas ganda. Satu sisi, sebagai bawahan kepala desa sekretaris desa harus tunduk kepada Kepala desa sebagai penyelenggara pemerintahan di tingkat desa, namun disisi yang lain sebagai pegawai negeri (Unsur birokrasi) sekretaris desa harus tunduk kepada kepada pemerintah diatas desa. Dengan kedudukan seperti ini akan menyebabkan efektifitas kerja birokrasi pemerintahan desa akan terganggu sebab sekeretaris desa harusu mengerjakan tugas sebagai pelaksana tugas dari pemerintah desa dan juga tugas dari pemerintah atasanya. Loyalitas ganda ini juga menyebabkan kewenangan desa untuk mengatur diri sendiri hilang. Sebab, masuknya birokrasi meyebabkan tangan pemerintah supra desa dapat dengan mudah masuk ke desa. Dengan demikian pola pembangunan yang top down yang berorientasi pada kepentingan luar desa yang berlangsung pada masa rejim Orde Baru mempunyai peluang besar untuk bangkit kembali.
Pasal-pasal Dalam UU pemerintahan daerah banyak menghilangkan peraturan teknis, akan tetapi tidak konsisten. Misalnya pengaturan tentang persyaratan menjadi kepala desa diserahkan kepada perda (pasal 203 ayat 1) akan tetapi persyaratan untuk menjadi anggota BPD diatur oleh UU yakni harus berasal dari unsur tokoh masyarakat yang dipilih melalui proses musyawarah dan mufakat.
Pasal-pasal dalam UU pemerintahan daerah tidak lagi mempedulikan aspek upaya untuk memberdayakan budaya masyarakat desa. Bila pada pada UU no 22 tahun 1999 diserahkan pada BPD (pasal 104), maka pada UU No. 32 tahun 2004 jo. UU no 22 tahun 1999, pasal ini dihilangkan. Dengan demikian kesempatan untuk memberdayakan kebudayaan lokal telah dihilangkan oleh UU baru yang mengatur tentang desa.
Selain itu UU pemerintahan daerah juga tidak memberikan definisi jelas mengenai daerah keberadaan desa. Kalau dalam UU No 22 tahun 1999 secara tegas dijelaskan bahwa daerah keberadaan desa ada di daerah kabupaten/kota maka UU pemerintahan daerah tidak secara jelas memberikan penjelasan mengenai hal tersebut.

Tabel Perbandingan UU No 22 Tahun 1999 dengan UU No. 32 Tahun 2004 mengenai Desa



Definisi desa
Nama desa dan penyebutan nama desa
Pendirian desa baru
Lembaga-lembaga desa
Pemerintahan desa
Kepala desa
Pemecatan kepala desa
Sekretaris desa
Aturan-aturan desa
Tugas dan kewajiban kepal desa
Anggaran belanja desa
Dana desa
Perusahaan milik desa
Pelaksanaan dan pengawasan

UU No 22 Tahun 1999
Sebagai masyarakat hukum mempunyai kewenangan mengurus masyarakat setempat berdasarkan dibentuk dalam sistem pemerintahan nasional berada dalam daerah Kabupaten/Kota
Pemerintah daerah dapat menyebut nama setempat untuk menyebut desa dan kepala desa
Di usulkan oleh desa, oleh ditetapkan oleh Kabupaten dan disetujui DPRD
Badan Perwakilan desa (BPD) dipilih warga dengan hak dan otonomi yang luas, dan juga lembaga lain yang dirasakan perlu didirikan sesuai dengan kepentingan desa.
Kepala desa dan BPD
Dipilih oleh warga dan tunduk pada BPD, setelah mendapat persetujuan pemerintah kabupaten, masa jabatan maksimum 10 tahun
Diusulkan oleh BPD, disetujui oleh kecamatan
Bukan unsur pegawai negeri
Disusun dan disetujui oleh BPD bersama dengan kepala desa
Diatur oleh UU
Disusun dan disetujui oleh BPD bersama dengan kepala desa.
Bantuan pemerintah dan dari sumber-sumber lokal
Dijinkan
Pemerintah Kabupaten

UU No 32 tahun 2004

Tidak terdapat penjelasan daerah keberadaan desa.
Pemerintah daerah dapat menyebut nama setempat untuk menyebut desa dan kepala desa
Di usulkan oleh desa, ditetapkan melalui perda
- Badan Permusyawaratan desa (Bamusdes) dipilih melalui proses musyawarah dengan mekanisme ditetapkan perda. Bamusdes tidak mempunyai kewenangan yang luas ( tidak ada laporan penyelenggaraan pemerintahan dari kepala desa dan tidak mempunyai fungsi sebagai pengawas terhadap penyelenggaraan pemerintahan)
- lembaga lain yang dirasakan perlu didirikan sesuai dengan kepentingan desa dapat didirikan
Kepala desa dan BPD
Dipilih oleh warga, setelah mendapat persetujuan pemerintah kabupaten, masa jabatan maksimum 12 tahun
Tidak diatur
Unsur pegawai negeri
Ditetapkan oleh Bamusdes bersama dengan kepala desa


Diatur oleh Perda
Disusun oleh kepala desa dan dituangkan dalam bentuk peraturan desa
Bantuan pemerintah dan dari sumber-sumber lokal
Dijinkan
Pemerintah Kabupaten


Dengan demikian revisi dari UU No 22 tahun 1999 adalah sebuah revisi yang dibuat dalam kerangka perencanaan yang tidak matang dan sama sekali tanpa ada rasa keberpihakan pada upaya untuk mengubah nasip hidup rakyat desa. Tidak dibuatnya UU dalam sebuah perencanaan yang matang dapat dilihat dari kerangka Isi yang tidak konsisten dan penjelasan yang tidak jelas dalam mendefinisikan desa. Hal ini dapat dipahami, kareana memang proses penetatapan UU ini dibuat dalam kondisi yang tergesa-gesa dan tanpa melalui proses yang terbuka dan partisipatif. Sedang ketidakberpihakan pada masyarakat desa dapat dilihat dari pasal-pasal UU ini yang mengarah pada upaya untuk mematikan Demokarsi desa yang tengah tumbuh. Pada saat DPR-RI sedang melakukan pembahasan terhadap revisi UU No. 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah.
Pro dan kontra terhadap revisi --- beserta substansinya---- telah berkembang sejak awal. Dari segi substansi adalah menganai pengaturan dan sejumlah perubahan yang hendak dilakukan dalam revisi tersebut. Sejak awal mula dimulainya rencana revisi sudah muncul 2 draft revisi yang berbeda antara yang satu dengan dengan yang lainya. Draft yang diajukan oleh departemen dalam negeri adalah draft yang dianggap oleh banyak kalangan bukan hanya merevisi ---- dalam arti mangamandemen---- tetapi mengganti total UU No. 22 tahun 1999. Semangat yang muncul dari draft yang diajukan oleh Depdagri adalah resentralisasi dengan menempatkan sejumlah aturan baru yang pada prinsipnya otonomi dimaknai sebagai otonomi pemberian. Banyak pasal-pasal yang dianggap bermasalah dalam draft yang diajukan oleh Depdagri. Draft lain yang muncul adalah hasil dari inisiatif politik DPR. Draft ini hanya memberikan perhatian terhadap pilkada secara langsung dan kedudukan DPRD dalam sistem kekuasaan di kabupaten. Draft ini tidak memuat pasal-pasal yang berkaitan dengan pemerintahan propinsi dan desa.
Dalam berbagai pertemuan dengan kalangan pengmbil keputusan mengenai revisi UU No. 22 tahun 1999 muncul berbagai ketidakpastian arah revisi. Dalam tahap awal sejak revisi hendak dilakukan, kalangan DPR menyatakan bahwa revisi akan dilakukan secarac terbatas (amandemen), artinya pasal-pasal yang akan direvisi akan terbatas pada pasal-pasal yang berkaitan dengan pilkada secara langsung karena ini dianggap sebagai kebutuhan yang mendesak pasca pemilu 2004 ini.
Dalam banyak pandangan mengenai revisi UU No. 22 tahun 1999, paling tidak ada dua pendapat besar yang berkaitan dengan proses dan mekanisme revisi. Pertama adalah revisi cenderung dilakukan secara mendadak dan tertutup. Perbincangan mengenai rencana revisi memang sudah dilakukan sejak lama, dan berbagai kalangan juga sudah memberikan masukannya, terutama yang berkaitan dengan pilkada secara langsung. Namun proses pembahasan yang terkesan tertutup menyebabkan tempat bagi untuk terlibatr dalam proses revisi sangat terbatas. Perjalanan revisi belum ada pertemuan resmi antara DPR atau pemerintah dengan masyarakat yang merupakan prakarsa pengambil keputusan. Pertemuan hanya dilakukan sebatas dialog (dengar pendapat) dan seminar yang frekuensinya sangat terbatas. Forum-forum yang membuka pintu bagi masyarakat untuk terlibat dalam dinamika politik sangat terbatas. Dengan demikian bahwa dugaan revisi dilakukan diam-diam atau tertutup semakin kuat. Kedua, revisi dilakukan oleh anggota DPR yang sudah hampir habis masa jabatannya. DPR hasil pemilu 2004 telah difinitif, dengan demikian DPR hasil pemilu 1999 secara de facto sudah tidak lagi dapat difungsikan karena legitimiasinya sudah berkurang. DPR “lama” tidak layak untuk melakukan sejumlah kebijakan penting termasuk didalamnya adalah melakukan revisi terhadap UU No. 22 tahun 1999. Kalau tetap dijalankan, revisi hanya merupakan formalitas dan penuh kepentingan jangka pendek, akibatnya kualitas revisi diragukan. Revisi hanya memenuhi target setoran akhir, dan tidak menggunakan pertimbangan politik jangka panjang. Selain itu proses revisi yang dilakukan oleh legisltif tansisi mengakibatkan revisi mengandung cacat politik. Secara defacto DPR “lama” sudah tidak menjabat lagi dengan demikian posisi sebagai legislator patut dipertanyakan.
Beberapa perubahan penting yang berkaitan dengan desa dalam perkembangan revisi adalah mengenai dibukanya peluang bagi desa untuk mendapatkan dana alokasi untuk desa melalui mekanisme politik yang proporsional, pertanggungjawaban kepala desa kepada bupati, dan pengakuan hak asasl usul sebagai bagian dinamis dari desa, (kompas, 25 Agustus 2004). Perkembangan seputar revisi UU No. 22 tahun 1999 tersebut merupakan peluang sekaligus ancaman bagi upaya pembaruan desa. Sebagai contoh adalah pertanggungjawaban kepala desa yang bukan lagi kepada BPD (Badan Perwakilan Desa), tetapi kepada Bupati. Selama ini kalangan BPD (ABPEDSI) menolak pasal tersebut karena dianggap mengurangi semangat otonomi desa. Makanisme lama tetap dipertahankan dimana kepala desa bertanggungjawab kepada BPD sebagai legislatif desa dan hanya memberikan laporan pertanggungjawaban kepada Bupati. Berbagai perubahan yang cukup penting dalam revisi UU No. 22 tahun 1999 tersebut merupakan tantangan baru bagi kerja pembaruan desa ke depan.
Upaya untuk melakukan advokasi revisi UU No 22 tahun 2004 akhirnya mengalami kegagalan. Akhirnnya draf versi depdagri menjadi ja nya revisi. Dengan demikian Upaya panjang lapera dan banyak lembaga lain untuk mendorong agar revisii dapat mengarah pada kepentingan rakyat desa mengahasilkan hasil yang berbalik. DPR RI pada akhir masa pemerintahan telah mengesahakan UU no 32 tahun 2004 menganatikan UU No 22 tahun 1999.
Namun revisi yang dibuat dalam proses yang tergesa-gesa dan tidak aspiratif, Ternyata menunjukan pada kecenderungan melemahkan pertumbuhan demokrasi desa, bukan memperkuat demokrasi desa yang yang baru saja tumbuh. Disamping itu, proses pembuatan yang tergesa-gesa juga melahirkan peraturan yang tidak jelas dan konsisten.
Kalangan aktifis yang terlibat dalam mendorong pembaruan desa telah bereaksi dengan kehadiran UU yang telah merugikan upaya pembaruan desa Dalam pertemuan di FPPD telah menghasilkan kesimpulan untuk melakukan penolakan terhadap UU ini. Lapera juga telah melakukan langkah-langkah advokasi untuk menolak kehadiran UU ini dengan berupaya melibatkan sebanyak mungkin kalangan. adapun langkah-langkah kerja lapera untuk menolak kebijakan ini adalah dengan melakukan kampanye melalui media, seminar diskusi untuk menolak kebijakan UU ini. Sikap DPD adalah sebuah peluang untuk memperluas dukungan banyak kalangan untuk mengubah atau merevisi UU NO 32 tahun 2004. Apa yang dapat direfleksikan dari kegagalan aktivis pembaraun desa dalam mengawal kebijakan nasional yang berkaitan dengan desa? Adapun yang dapat direfleksikan adalah selama ini adalah selama ini upaya untuk melakukan advokasi kebijakan tentang desa belum mempunyai daya dukung politik yang kuat. Lemahya daya dukung politik ini dapat dilihat masih lemahnya daya tawar kelompok-kelompok yang berkepentingan untuk mendorong keluarnya kebijakan yang berorientasi pada kepentingan rakyat desa. Adapun lemahnya daya tawar ini disebabkan Pertama, pengorganisasani kelompok-kelompok aktivis pembaruan desa belum solid, masih terpecah-pecah dan belum mempunyai cakupan yang luas. Kedua, belum kuatnya jaringan politik aktivis pembaruan desa untuk mempengaruhi pengambil kebijakan baik pengambail kebijakan di level eksekutif maupun legislatif melalui jalur lobi politik ditingkat eliet. Ketiga, masih lemahnya opini publik untuk mendukung kebijakan tentang desa. Lemahnya opini publik ini disebabkan masih lemahnya kemampuan untuk menjadikan isu tentang desa menjadi isu yang menarik perhatian Pers untuk di publikasikan. Tidak menariknya isu desa dapat dilihat pada saat advokasi UU No 22 tahun 1999 ketika akan direvisi. Pasal-pasal kebijakan tentang desa samasekali tidak mendapat perhatian pers pasal-pasalnya tenggelam dengan pasal yang berkaitan dengan Pemilihan kepala daerah secara langsung. Selain kemampuan mengemas isu, lemahnya kemampuan mengalang opini publik juga disebabkan jaringan kerja aktivis pembaruan desa belum mampu mencakup aktivis pers di tingkat nasional.
Kegagalan melakukan advokasi kebijakan tingkat nasional akan berdampak pada kebijakan di tingkat lokal. Untuk itu perlu dilakukan upaya untuk mengawal kebijakan ditingkat lokal agar tidak masuk dalam kerangka kebijakan nasional yang telah merugikan pertumbuhan demokrasi di desa. Di Daerah Istimewa Yogyakarta Advokasi mencegat berlakunya UU No 32 tahun 2004 mempunyai peluang untuk dapat berhasil. Sebab DIY adalah daerah istimewa, dengan status keistimewaannya , maka DIY dapat berbeda dengan dengan kebiijakan pusat. kebijakan yang berkaitan dengan upaya mendorong otonomi dan demokrasi desa dapat masuk dalam bagian yang diatur dalam UU Keistimewaan DIY yang sampai saat ini belum dirumuskan oleh DPR RI. Pengaturan demokrasi desa mempunyai peluang besar untuk dimasukan dalam bagian ke Istimewaan DIY karena Demokrasi desa ( tepatnya keberadaan Parlemen Desa) pernah diatur di DIY melalui maklumat yang pernah dikeluarkan oleh Sri Sultan HB IX. Oleh karena itu untuk menjamin agar demokrasi desa dapat dijamin dalam kebijakan tingkat nasional, Pengaturan mengenai pentinganya demokrasi desa harus dapat dimasukan dalam UU Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Selain berupaya mempengaruhi UU ke Istimewaan DIY, upaya untuk mengawal kebijkan Pro- Desa ditingkat lokal juga dapat dilakukan dengan mempengaruhi kebijakan eksekutif dan legislatif. Momentum yang tepat untuk dapat mempengaruhi kebijakan eksekutif adalah akan dilakukanya pemilihan kepala daerah secara langsung di DIY Pemilihan kepala daerah secara langsung ini dapat dimanfaatkan dengan cara mempengaruhi calon-calon bupati agar berpihak dengan desa. Upaya ini dapat dilakukan dengan membangun komitmen Calon Bupati dengan aktivis desa.
Untuk mendorong kebijakan tentang desa baik di tingkat lokal maupun nasional, kita menyadari bahwa hal tersebut tidak akan dapat terjadi bila dilakukan sendiri. Karena itu upaya untuk mengalang sekutu dan dukungan terus dilakukan .

Belajar dari Desa

Belajar dari Desa

____Ariefa'id al-flourez____

Belajar dari Desa

GAGASAN mengenai arti penting kedudukan dan peranan kelembagaan desa dalam skema pembangunan nasional dan penanganan bencana, sebenarnya bukan merupakan hal yang baru, Sejak penguasaan masa kolonial, menyadari eksistensi kelembagaan yang ada di desa sebagai basis perlawanan rakyat revolusioner dengan tingkat solidaritas dan gotong royong relative tinggi merupakan modal sosial yang berpotensi untuk menentang dominasi kolonialisme kapitalis Belanda. Kekuatan nilai-nilai local wisdom tersebut satu sisi bukan hanya menakutkan bagi kolonialisme, akan tetapi juga dimanfaatkan oleh kolonial untuk merumuskan konsep pemerintahan saat itu, hal itu terlihat pada pengakuan desa dan kelembagaan yang ada di dalamnya sebagai bagian dari struktur pemerintahan Hindia Belanda melalui ordonansi khusus yang dikenal dengan nama De Indlandsche Gemeente Ordonantie (IGO) yang dimaklumatkan melalui Ind. Stb. 1906 No. 83, yang dimaksudkan untuk mengatur urusan pengelolaan berikut kepentingan rumah tangga komunitas-komunitas dan kelembagaan yang ada di pedesaan pribumi. Artinya bahwa Kolonialisme Belanda menganggap bahwa desa dengan kearifan yang dimilikinya merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan untuk memperkuat dukungan sekaligus sebagai basis ekspolitasi, karena desa menyediakan berbagai hasil bumi serta tenaga kerja yang murah. Kondisi yang tidak jauh berbeda terjadi pada masa kekeuasaan rezim orde baru, dimana desa satu sisi diangap sebagai basis kekuatan ekonomi, khususnya dibidang pertanian, namun pada sisi yang lain kebijakan-kebijakan yang gulirkan cenderung mengeksploitasi desa serta masyarakat yang ada di dalamnya, sehingga ketika bencana terjadi, masyarakat desa yang sebenarnya memiliki kemampuan survive harus takluk dalam skema sentralisasi dan eksploitasi.
Memasuki era reformasi, desa; sedikit banyak mengalami perubahan, khususnya pada level regulasi, dimana melalaui UU No.22tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi UU No.32 tahun 2004. Dalam beberapa klausulnya merekomendasikannya pengakuan hak-hak desa, seperti adanya kekebasan bagi masyarakat untuk menentukan pemimpinnya (kepada desa), membentuk berbagai kelompok sosial masyarakat serta adanya dana alokasi untuk desa yang diambil dari APBN.

Uraian tersebut diatas, setidaknya ada hal penting sebenarnya yang dapat kita formulasi dalam proses recovery pasca bencana maupun penanggulangan resiko bencana, khususnya yang terjadi dikawasan pedesaan, yaitu dengan optimalisasi potensi dan sumberdaya (local wisdom) yang ada di desa sebagai landasan untuk penanggulangan dan recovery bencana, anggapan ini tentu saja sesuai dengan pengalaman penulis ketika terlibat dalam proses recovery di Bantul, dimana sekitar 5 jam setelah gempa terjadi, saya dan kawan-kawan (dkk) LSM yang saya naungi melakukan evakuasi dan memberikan pertolongan kepada warga korban (kegiatan tersebut bersifat emergency respon; praktis tanpa perencanaan yang matang). Pada waktu yang bersamaan saya dkk menginisiasi pembentukan tim yang bertugas membantu korban. Tim ini beranggotakan; perwakilan dari seluruh tokoh agama, tokoh masyarakat, pemerintah desa, kelompok dan kelembagaan sosial yang ada di desa, serta asosiasi-asosiasi dan perkumpulan warga yang ada di Bantul, atas kesepakatan bersama, maka tim ini diberi nama Tim Sukarelawan Pemulihan (TSP) Bantul. Ada tiga tugas utama tim ini yaitu; merekrut relawan, membuka akses jaringan bantuan, serta mediasi dan advokasi.
Pertama, rekruitmen relawan; adalah upaya yang dilakukan dalam rangka mencari dan mengalokasikan tenaga-tenaga sukarelawan untuk melakukan kerja-kerja evekuasi dan pertololongan baik medis maupun non medis. Sasaran rekrutmen relawan ini antaralain; mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi (Jogjakarta, Jawa timur, Jawa Tengah, Jawa Barat) serta masyarakat umum dari desa-desa yang ada disekitar DIY. Prinsip dasar rekrutmen relawan tersebut adalah solidaritas kemanusiaan. Proses rekrutmen relawan ini dengan menggunakan metode undangan terbuka dan kerjasama sosial kemanusiaan. a). Rekrutmen relawan dari perguruan tinggi; Proses rekrutmen relawan dari PT, TSP membuat surat permohonan kepada PT yang bersangkutan untuk mengirimkan mahasiswanya sebagai relawan dengan inisiatif bahwa mahasiswa yang tergabung dalam TSP dapat dan akan dikategorikan sebagai peserta Kuliah Kerja Nyata sebagai wujud pengabdian masyarakat. Selain menggunakan permohonan resmi, ada juga beberapa perguruan tinggi dari luar DIY, yang mendaftarkan diri untuk bergabung di TSP baik person maupun kelompok.
b). Rekrutmen relawan dari Masyarakat Umum; Konsep dasar yang digunakan dalam merekrutmen relawan dari masyarakat umum, adalah solidaritas dan kerjasama antar kelembagaan sosial yang ada di desa-desa sekitar DIY. Penggunaan konsep ini dilatar belakangi oleh konsep hubungan sosial dan kekerabatan masyarakat Jawa (khususnya warga masyarakat Bantul dengan daerah sekitarnya) yang guyub rukun serta gotong royong. Oleh sebab itu Bantul sebagai salah satu barometer kekuatan kelembagaan desa, sehingga TSP tidak mengalami kesulitan mendapatkan relawan, dimana kekuatan yang dibangun adalah solidaritas dan kerjasama antar karang taruna, antar pedukuhan, antar RT, antar kelompok tani, pedagang, BPD dan antar pemerintah desa. Proses rekrutmen ini tentu saja yang kami libatkan adalah jaringan-jaringan kelembagaan sosial yang ada di desa, kami memberikan kebebasan dan otonom kepada mereka untuk merektrut relawan dari desa-desa tetangganya.
Hal yang penting sebelum melakukan rekrutmen relawan adalah perlu secara abstrak mengidentifikasi kebutuhan warga korban agar disesuaikan dengan kemampuan relawan dan penempatan relawan tersebut di posko-posko TSP.
Relawan yang sudah terdaftar di posko utama TSP, akan diberikan pengarahan, penjelasan, serta pembagian tugas dan wilayah pendirian posko (technical meeting) oleh tim Rekrument TSP. Semua peserta relawan teregistrasi di posko induk untuk memudahkan kordinasi dan konsolidasi. Dalam pembagian kelompok yang dialokasi di posko-pokso telah ditentukan, relawan dari suatu perguruan tinggi akan digabungkan dengan PT lain dan warga masyarakat umum, dengan tujuan untuk memudah interaksi sosial dan transformasi skill dan pengalaman.
Kedua, membuka akses jaringan bantuan. Kerja dari pencari bantuan ini adalah menggalang dukungan bantuan yang bersifat materi, seperti sembako, obat-obatan dan tenaga medis, pakaian, tenda, dan perabot rumah tangga, perlengkapan kerja. Dalam kerja-kerja membuka akses jaringan bantuan ini adalah tetap memberdayakan kelembagaan sosial yang ada di desa, dimana jaringan-jaringan kerjasama yang telah ada sebelum gempa tetap menjadi perhatian utama dari tim ini, alhasil selama melakukan tugasnya, tim pencari bantuan ini berhasil menghimpun dukungan bantuan materi dari berbagai desa yang ada di kabupaten-kabupaten disekitar DIY dan bahkan mendapatkan dari luar pulau jawa.
Ketiga, tim mediasi dan advokasi; tugas dari tim ini adalah memediasi masyarakat korban, baik dalam bentuk jaringan bantuan maupun berbagai persoalan yang dihadapi oleh warga korban. Selain itu juga tim ini bekerja melakukan advokasi terhadap warga korban terkait memperjuangkan hak-haknya sebagai korban. Untuk diketahui bahwa penggunaan media massa merupakan hal penting untuk mentransformasikan informasi kondisi dilokasi bencana, dan saat saya yang beri tugas merekrut, mealokasikan, dan mengkoordinasikan melakukan kerja sama dengan beberapa radio dan media cetak yang ada di Jogjakarta untuk mengkomunikasikan hal tersebut.

Membantu yang Memberdayakan
Selama terlibat dalam TSP tersebut banyak hal dapat penulis temukan dilapangan, berbagai kejadian-kejadian yang dinggap diluar dugaan, kejadian-kejadian tersebut antaralain, adanya korban yang belum ditangani dengan baik oleh medis, baik kondisi fisiknya maupun masalah biaya, ada juga yang menumpuk bantuan (walaupun presentasenya kecil), cash for work, terjadinya perebutan wilayah kekuasaan “garapan” korban gempa, serta kasus-kasus lainnya yang menurut saya semua orang yang terlibat dalam proses recovery Jogjakarta, dan Bantul khususnya dapat menyaksikan sendiri kejadian-kejadian tersebut
Atas dasar pengalaman tersebut, tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan menguraikan bagaimana sebenarnya skema memberikan bantuan yang memberdayakan. Gempa yang terjadi di Jogjakata dan daerah sekitar, tentunya diluar kempuan kita dengan teknologi yang masih minim untuk dapat memprediksikan bahwa itu akan terjadi, demikian juga dengan bencana alam-lainnya. Maka ketika kita berbicara penanganan pasca terjadinya bencana tersebut, maka siapapun yang akan terlibat dalam proses tersebut, syarat utama yang harus penuhi adalah mengatahui bagaimana kondisi masyarakat sebelum bencana dan setelah bencana. Syarat ini lebih diutamakan pada proses penanganan jangka panjang. Artinya identifikasi bukanya hanya dilakukan ada kebutuhan-kebutuhan warga korban, akan tetapi indentifikasi kondisi sosial masyarakat bertujuaan agar proses recovery tersebut tepat sasaran dan memberdayakan masyarakat.

Strategi bagi penguatan peranan kelembagaan desa (memberdayakan) dalam menanggulangi dan penanganan pasca bencana dapat dilakukan melalui analisis isu utama dan isu fungsional dalam skema penanggulangan bencana. Sebagai isu utama, perlu dilakukan terobosan konstitusional untuk memberikan bingkai konstitusional bagi penanganan bencana. Hal ini berarti diperlukan langkah langkah-langkah strategis secara berkelanjutan untuk mendesakkan agenda penyusunan konstitusi, dengan menskenariokan penguatan kewenangan pemerintah lokal dan kelembagaan lokal ke dalam konstitusi. Strategi ini bertujuan untuk memudahakan koordinasi dan penguatan kerjasama antar pemerintah daerah serta adanya desentralisasi kewenangan dalam membuat kebijakan tentang penanganan bencana, dimana pemerintah pusat hanya bersifat fasilitator dengan memakasimalkan tugas pembantuannya kepada daerah. Manakala pengakuan secara konstitusional masalah penanggulangan resiko bencana ini sudah berhasil diperoleh, langkah-langkah strategis yang menjadi bagian dari isu sekunder, fungsional dan minor akan lebih mudah dilakukan secara gradual. Dimana pemerintah daerah harus dengan giat mendorong partisipasi masyarakat agar terlibat dalam berbagai perumusan kebijakan dan implementasinya, khususnya yang berkaitan dengan pengurangan resiko bencana, sehingga proses tersebut menjadi upaya memberdayakan masyarakat.

Salah satu metode untuk menggerakan arah perubahan dan perbaikan pasca bencana dari bawah adalah melalui penguatan partisipasi dan kapasitas rakyat, khususnya masyarakat desa. Partisipasi yang hendak dikembangkan didasarkan pada pemahaman bahwa warga masyarakat memiliki hak penuh untuk menentukan hitam dan putihnya kondisi pemerintah, sosial, ekonomi, politik dan budaya di daerahnya. Warga masyarakat memiliki hak penuh untuk menentukan arah gerak sosial kultur serta kinerja pemerintah. Hak tersebut terkait langsung dengan eksistensi rakyat dalam skema kenegaraan. Oleh sebab itu, menjadi ironis kemudian ketika proses penanganan bencana yang terjadi saat ini, baik pemerintah maupun NGO cenderung melakukan “intrevensi” terhadap hak-hak warga masyarakat, khususnya warga korban, dengan menegasikan nilai-nilai lokalitas yang terintegrasi dalam kelembagaan lokal. Penanganan bencana ini tentu saja dirumuskan dalam penanganan jangka panjang. Para pemberi bantuan (siapapun) harus merumuskan dan memprediksikan apa yang akan terjadi pasca bantuan itu dihentikan, maka sejak awal harus disadari bahwa suatu proses recovery dan rekonstruksi pasca bencana, warga korban harus diposisikan sebagai subyek dan bukan sebaliknya. Sehingga disinilah pentingnya pengembangan partisipasi masyarakat karena akan menempuh dua langkah sekaligus, yakni: (1). Memperkuat kapasitas kritis masyarakat dan (2). Memperkuat kelembagaan yang ada. Upaya perbaikan (recovery) pasca bencana melalui penguatan kapasitas masyarakat dan kelembagaan social di desa dengan mengelaborasi konsep checks and balances melalui peran empat aktor (pemerintah, Warga, Pasar, dan Swasta;NGO,PT) merupakan salah satu solusi yang dapat ditawarkan, sehingga proses recovery tersebut bersifat holistik. Maka strategi yang mungkin dilakukan untuk melakukan suatu penanganan yang holistic terhadap recovery dan penanggulangan bencana dapat dilakukan melalui: (1). Penguatan kapasitas kelembagaan desa baik yang bersifat nilai-nilai lokalitas maupun kelembagaan yang bersifat institusi formal dengan memberikan mereka peran dan monitoring, sambil melakukan “tawar menawar” secara kritis dengan negara untuk membuka kembali konsep pembagian peran dan pemenuhan hak-hak dasar warga; (2). Strategi pembentukan regulasi tentang penanganan bencana yang berbasis pada nilai-nilai lokalitas melalui konsep partisipasi, baik pada level pemerintah pusat sampai pemerintah desa yang mewacanakan keseimbangan hubungan manusia dengan lingkungan dengan landasan pemikiran pemberdayaan masyarakat yang otonom; dan (3). Strategi pembagian peran dan koordinasi antar dan lintas 4 element ( pemerintah, warga, pasar, dan swata;NGO) dalam memperkuat kapasitas kritis masyarakat, baik pada level recovery maupun pada level penanggulangan resiko bencana dalam skema holistik